Dongeng tentang Sejarah

Kepalanya yang selalu dipukul-pukul oleh benda tumpul semenjak masih dalam kandungan itu membuat otaknya sangat kurang cerdas. Jangankan memahami, menghafal saja sudah susah minta ampun. Hampir semua nilai rapornya merah, namun karena orang tuanya adalah seorang yang berdarah biru yang memiliki sawah luas, maka warna merah rapornya bisa diganti dengan warna hitam. Ganti warna tinta harus bayar dong kata gurunya waktu itu dengan wajah memelas, maklum saat itu gaji guru sudah sangat minim, sehingga tinta saja menjadi persoalan yang amat harus dipertimbangkan sisi finasialnya. Meskipun semua pelajaran ia benci, tapi yang paling dibencinya adalah sejarah. Mendongeng saja kok harus sekolah katanya ketika ditanya mengapa ia membenci sejarah. Dalam kamusnya, sejarah adalah menghapal dongeng, kemudian mendongengkannya kepada orang lain, lain tidak. Dan memang begitulah seharusnya sejarah dipelajari kata seorang guru besar ilmu perdongengan.

Nasib manusia seringkali tidak sejalan searah dengan nasib otaknya. Maka seringkali kita temukan orang yang bahagia adalah orang yang bodoh, sebab ia tidak tahu apa yang harus ia sedihkan. Sebab lain, dalam otaknya hanya terdapat memori bahagia, atau kalaupun ada memori sedih, otaknya sudah melupakannya sebagaimana para pejabat melupakan sumpah jabatannya dengan mudah seperti begitu mudahnya mereka membuang air kehidupan kedalam tempat-tempat yang tidak seharusnya, tentu saja dengan dibiayai dana rakyat yang mereka hisap melalui bawah meja kantor-kantornya.

Ia adalah manusia, jadi meskipun otaknya tumpul melebihi golok tua yang berkarat, namun nasibnya memang mujur melebihi orang-orang jujur. Karena kebodohannya tersebut, maka ia memiliki pengetahuan tentang orang bodoh melebihi pengetahuan para ahli kebodohan. Sehingga pengetahuan ini ia manfaatkan untuk membodohi orang-orang yang sudah bodoh itu. Itulah sebabnya mengapa kini ia dan partainya berhasil memenangi 78 persen suara yang secara otomatis menjadikannya sebagai penguasa yang kokoh. Sebab memang orang-orang selalu berkumpul dan mendukung rekannya yang sealiran dan sepaham. Maka jangan heran jika program-programnya didukung oleh rakyat-rakyat bodoh yang mendominasi negeri itu. Dari dulu hingga sekarang mereka tetap bodoh dan selalu diharapkan untuk tetap bodoh sehingga mudah dibodohi. Kalaupun ada sistem pendidikan yang katanya mencerdaskan, namun sebenarnya itu adalah membodohkan. Sehingga orang-orang terdidik yang dikeluarkan oleh sistem pendidikan macam ini sebenarnya juga orang-orang yang terbodohkan.

Kebenciannya kepada sejarah ternyata sudah mendarah daging. Akupun tak tahu mengapa ia bisa sedemikian benci terhadap sejarah. Mungkin sejarah akan mengingatkannya kepada siksaan dipentungi benda tumpul selama masih dalam kandungan dahulu. Mungkin juga ia ingin sekali membalas dendam, namun karena saat itu dunianya masih gelap gulita, maka ia tak tahu siapa yang mengayunkan benda tumpul itu ke kepalanya. Pelampiasannya sekarang adalah menghilangkan sejarah dari otak orang-orang bodoh yang menjadi rakyatnya.

Segala sesuatu yang berbau sejarah dianggap sebagai tindakan makar kepada pemerintahannya sehingga sah untuk dibasmi hingga ke akar-akaranya. Otak-otak yang masih menympan sejarah harus dioperasi untuk dibersihkan dan dicuci sehingga menjadi steril.

Buku-buku sejarah dibakarnya habis, gedung-gedung bersejarah diratakannya dengan tanah, kota-kota bersejarah ia rombak ulang dengan menghilangkan nilai sejarahnya, bahkan pemerintahan-pemerintahan bersejarah ia garong kedaulatannya atas nama demokrasi dan keadilan.

Untuk mempersiapkan regenerasi, ia telah menyusun sistem pembodohan yang lebih luar biasa dari sistem yang telah ada saat ini. Semua bayi yang masih ada dalam kandungan harus dipentungi kepalanya dengan benda tumpul sesering mungkin, sehingga akan muncul generasi-generasi yang benci sejarahnya sendiri. Masyarakat dicekoki dengan produk-produk baru yang selalu terus memperbaharui diri untuk menghilangkan kesempatan rakyatnya merenung dan mengasah otak dengan kritis. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi-perguruan tinggi menyiapkan pola belajar instan tanpa menggunakan otak dalam proses pembelajaran. Perekrutan pegawai swasta dan negeri dilakukan dengan menggunakan proses yang mengabaikan peranan otak tetapi mendewakan koneksi dan tamparan kertas-kertas berharga.

Dengan kondisi yang seperti ini, ia bisa menjamin kekuasaannya dapat langgeng dan turun temurun sebagaimana yang ia impi-impikan dahulu, sebuah dinasti keluarganya. Lho bukankah ini juga merujuk sejarah tanyaku kepadanya. Tak peduli, sebab sejarah sudah kupunahkan jawabnya.

Jalan Kopi, 10 Desember 2010

22:51

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis