Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2010

Masa depan budaya agraris

Prolog Kebudayaan adalah seperangkat   wahana yang digunakan oleh manusia untuk mempertahankan eksistensinya di dunia. Ia mencakup semua pranata kehiupan. Indonesia, meskipun telah memulai proses industrialisasi semnjak tahun-tahun awal kemerdekaan, namun budaya agraris masih nampak mencolok hingga saat ini. Jawa, yang selama ini menggenggam skor sebagai pulau terpadat di Indonesia, juga termaju dalam infrastruktur, ternyata masih menampakkan semangat    masyrakat agraris. Selayang pandang Budaya agraris menampakkan keperkasaannya ketika harus membantai komunis pada pertengahan tahun 60-an. Dengan menggunakan massa Islam tradisional, pranata agraris melakukan pembantaian massal. Hingga saat inipun misteri kelam bangsa tersebut belum terkuak dengan jelas. Banyak pihak memang yang menumpang dalam peristiwa tersebut. Tak urung AS pun ikut nebeng ambil untung dengan menggeser kuasa politik saat itu dan menggantinya dengan yang sejalan. Di dalam negeri pun tak berbeda kasusnya. NU

Merayakan Kembali Mitos

Dalam kaitannya dengan arsitektur dan seni, mitos memiliki pengaruh yang kuat terhadap bentuk suatu karya. Seni dan arsitektur pra-modern mengikuti aturan bentuk mengikuti mitos. Pola ini mengalami perubahan ketika semangat modern menghinggapi masyarakat menjadi bentuk megikuti fungsi. Semua ini berbarengan dengan disingkirkannya mitos dan tuhan dari kehidupan masyarakat. Pola modern pun tidak bertahan lama, saat ini bentuk bukan lagi mengikuti fungsi, tetapi mengikuti kesenangan-selera. Tidak ada patokan standar dalam selera, semuanya kembali kepada masing-masing inidvidu. Relativisme mulai menghingapi pragmatisme. Dalam pola post-modern ini, mitos kembali digemari. Inilah yang dinamakan romantisme masa lalu yang sebelumnya dikecam habis-habisan. Namun apakah mitos hanya kembali ke dalam otak masyarakat dalam ranah desain dan karya seni? Seharusnya tidak, sebab semangat zaman selalu menghinggapi semua anasir kebudayaan. Tulisan Sujewo Tedjo di Kompas terkait dengan kembalinya keja

Menyoal Bahasa

Pra wacana Bahasa hanyalah suatu ungkapan dari manusia untuk menggambarkan segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh indera untuk kemudian digunakan sebagai wahana untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Untuk itulah bahasa tidak bisa digunakan untuk hal-hal yang tidak bisa dicakup nalar manusia. Disinilah kemudian muncul atheisme. Suatau pandangan yang tidak mengakui tuhan bukan karena tidak percaya akan kekuatan ekternal yang mengendalikan sistem jagad raya ini. Melainkan hanya karena bahasa tidak bisa menjangkau tuhan, sehingga lebih baik tidak ada tuhan daripada meng ”ada” kannya namun justru menarik tuhan untuk turun pada derajat yang lebih rendah:   bahasa yang merupakan ciptaan manusia. Mencoba mBahas Hal demikian paling tidak   pernah di ungkap Gunawan Muhammad (GM). GM mungkin juga lupa atau bahkan sedang meng ”ada” kan sejenis atheisme baru. Suatu sempalan aliran atheisme yang nampaknya kalau kita lihat dari konsepnya –paling tidak dalam pandangan GM- aliran tersebut

Keberanian untuk mengalah

Jawa sangat identik dengan harmoni. Bahkan kelewat ekstrim. Bagaimana tidak, hanya dalam rangka mencapai harmoni, mereka mampu meninggalkan prinsip. Toleransi (tepa selira) merupakan segala-galanya. Mampu memendam segala rasa yang ada dalam jiwa. Termasuk diantaranya keberanian untuk mengalah. Prinsip yang sangat berat kiranya untuk kita terapkan. Bagaimana seseorang berani untuk mengalah, menanggalkan prinsipnya hanya untuk melahirkan sebuah harmoni. Beranikah kita? Sebagian besar orang akan mengatakan tidak. Mereka akan berpegang pada prinsip masing-masing, dan akan mengatakan bahwa orang yang sering mengalah sebagai orang yang tidak memiliki prinsip. Benarkah demikian? Keberanian untuk mengalah bukan berarti meninggalkan prinsip hidup. Akan tetapi merupakan bentuk betapa besar jiwa seseorang. Ia tidak lagi memandang kehidupan sebagai miliknya, yang harus ia pertahankan di atas prinsip hidup yang ia anut. Melainkan , hidup hanya sekedar ngelakoni, di mana prinsip harmoni antar se

Hidup dalam Kematian dan Mati dalam Kehidupan Suatu catatan atas filsafat Mati sa Jeroning Urip

Kehidupan meniscayakan sebuah entitas dan eksistensi. Berbagai hal dilakukan manusia untuk menunjukkan eksistensinya. Mulai dari ekspresi diri untuk mendapat pengakuan hingga sebuah arogansi yang menuntut daku dari orang lain. Alangkah indahnya jika bentuk eksistensi tersebut tidak kita ungkapkan . Bukankah hidup dan mati hanya sebuah lakon, yang tanpa kita tunjukkan pun kita akan merasakannya. Alangkah sedihnya jika kita hanya bisa merasakan eksistensi kita dengan meluapkan ekspresi dan membutuhkan pengakuan dari orang lain. Ekspresi dan arogansi yang muncul dari seseorang hanyalah sebuah ketidak- percayaan diri akan eksistensinya sebagai makhluk hidup. Kepercayaan diri akan kehidupan dan keberadaan, akan menghilangkan kebutuhan berekspresi. Hidup dalam kematian adalah suatu anggapan dan way of life, yang menyarankan kita untuk hidup dalam kenafian dunia. Pengakuan orang lain, ekspresi, penghargaan dan sejenisnya tidak di butuhkan disini, bahkan justru sengaja dihilangkan. Semua dil

Lenyapnya Nilai

  Nilai mulai hilang dari kebudayaan   semenjak dunia mengalami transisi dari industri menuju pasca industri. Dekonstruksi, postrukturalis, dan postmodern adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hilangnya nilai. Dalam era   pasca industri, batas-batas yang memisahkan antar entitas kebudayaan telah dihilangkan.   Semua aspek telah kehilangan kemurniannya dan menciptakan suatu bentuk baru yang hybrid dan mutan. Dalam seni misalnya, saat ini yang berkembang adalah seni rendah (massal) yang sangat tidak menghargai orisinalitas, memuja plagiasi dan merayakan repro yang semuanya mengikuti logika komoditas. Tuhan dalam masyarakat seperti ini telah digantikan oleh hasrat. Perselingkuhan agama dengan budaya pop nampaknya terasa sangat terencana. Ada semacam desain global yang mencoba mengarahkan laju peradaban. Perselingkuhan tersebut pada akhirnya meggeser posisi nilai dari kehidupan manusia.   Jangka panjangnya, setelah makna menghilang, manusia dapat dikendalikan melalui logika

Kebetulankah hidup itu?

Jacob Oetama pernah ngomong bahwa hidup penuh dengan kebetulan- kebetulan. Dan beitulah tuhan mengatur dunia. Ya dengan kebetulan-kebetulan tersebut. Konsep ini Nampak sederhana namun dalam makna. Ini mengingatkan kepada kita, bahwa seringkali apa yang kita usahakan tidak selaras dengan garis hidup yang telah ditentukan olehNya. Memang agak mirip dengan para fatalis (jabariyah). Kebetulan-kebetulan itu terjadi tentu saja diluar apa yang kita rencanakan. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita menyikapi kebtulan-kebetulan tersebut. Terkadang yang sering muncul adalah kebahagiaan atau kekecewaan. Dari mana munculnya kebahagiaan dan kekecewaan tersebut? Bisakah kita keluar dari oposisi biner tersebut dan masuk kedalam penghambaan yang murni tanpa ada kebahagiaan dan kekecewaan, meski tetap harus ada syukur disana? Bukankah hidup mung sak dermo ngelakoni? Kebahagiaan muncul tatkala apa yang kita rencananakan, harapkan dan usahakan ternyata sesuai dengan garis takdir yang tela

Diferensiasi

Konsep ini merujuk suatu keadaan dimana suatu objek memiliki makna karena ia memang tidak memiliki suatu makna yang lain. “Topi” menunjukkan suatu alat penutup kepala, bukan arti yang lain dikarenakan memang kalau kalimatnya adalah “kopi” atau “tapi”, maka ia memiliki makna yang lain pula. Konsep ini dikembangkan untuk mendekonstruksi konsep oposisi biner yang dikembangkan oleh kaun sturukturalis. Dalam diferensiasi tidak dikenal istilah baik dan buruk, tinggi dan rendah, moral dan amoral ataupun yang lain. Hingga sampai disinilah konsep ini akhirnya tidak mengenal/mengabaikan moralitass. Ukuran atau standar tidak dikenal lagi. Makna ditetapkan atas perbedaan objek dengan yang lainnya. Inilah postmodern. Sementara yang dinamakan dengan modern adalah suatu kondisi kemajuan yang terus menerus. Orang dituntut untuk selalu menapak capaian yang lebih bagus dan seterusnya. Standar nilai yang digunakan dalam modern juga mengalami proses menjadi(becoming). Standar ini terbentuk atas pemuja

wow

reading is not just a hobby … but part of our inner life

Paradigma baru MSDM: wajah baru dari konsep Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu

Konsep ini telah lama mengakar di Indonesia, bahkan sudah dianggap asing oleh orang sendiri. Sebagian orang lain menuduh konsep ini sebagai bentuk kejawen yang sudah tak layak dipegangi oleh kita, bangsa modern. Namun mengikuti kuliah Dr AA Anwar Prabu Mangkunegara, saya teringat kembali konsep ini. Pak Anwar dalam kuliahnya menyampaikan suatu paradigma baru tentang SDM yang menurut saya lebih merupakan kemenangan manusia sebagai makhluk sosial. Bukankah dahulu, pada awal masa industri hingga beberapa puluh tahun belakangan, manusia hanya dianggap sebagai sebuah benda yang tidak ada bedanya dengan barang modal yang lain. Dan sekarang, paradigma itu telah diubah total. Berarti manusia telah menemukan kembali kemanusiaannya. Manusia telah kembali mengabdi pada kemanusiaan, bukan lagi mengabdi pada materi dan kekuasaan. Manusia telah ditempatkan kembali pada subyektifitasnya sebagaimana paradigma baru SDM mengatur tentang pola komunikasi “subyek-subyek”. Bukankah ini pula kemenangan Des

Egosentris (Menyoal Ego Jilid II)

Prakata Tak diragukan lagi, hampir   semua prestasi yang telah dicapai oleh umat manusia dihasilkan dengan dorongan ego di dalam hatinya. Keinginan untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu memberi sumbangan terhadap peradaban merupakan motivasi yang sangat besar bagi manusia untuk menghasilkan karya-karya yang tak ternilai harganya. Kemajuan demi kemajuan diraih oleh umat manusia untuk mempermudah dan member solusi bagi manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti hewan dan malaikat. Namun, layaknya pisau bermata dua, ego yang tak mampu dikendalikan justru membuat   manusia semakin menderita menjalani kehidupannya di dunia. Manusia yang hakikatnya adalah pemimpin di dunia justru semakin tergantung dengan kemajuan teknologi. Idealnya, teknologi diciptakan untuk mempermudah tugas manusia, akan tetapi seringkali, karena model ketergantungan yang besar dari manusia, teknologi justru menghilangkan kemerdekaan jiwa manusia. Seolah-olah manusia tidak bisa hidup lagi

Islam Moderat Sebuah Ketidakmampuan Membaca Diri Sendiri

Sanwacana Terinspirasi oleh tulisan Ahmad Nadjib Burhani dalam jurnal Ma’arif Institute, saya melihat apa yang dikritikkan Najdib memang ada benarnya. Islam moderat hanya merupakan sebuah penegasian yang sudah barang tentu bukanlah sebuah identitas. Tulisan ini mencoba menjelaskan fenomena ini khususnya yang terjadi dalam NU. Asal Usul Islam moderat muncul dan marak ketika perang menghadapi terorisme mulai digaungkan oleh Bush semenjak peristiwa 11 September 2001. Mulai saat itu, organisasi-organisasi massa islam berlomba-lomba untuk mengikuti arus dan mencari jalan aman dengan mengklaim sebagi penganjur aliran moderat. Sampai pada tataran ini, gerakan moderasi khususnya yang terjadi di NU memang hanya merupakan sebuah respon untuk menghindari bentrokan dengan politik luar negeri AS. Namun lebih dari itu semua, hal ini juga menunjukkan bahwa NU sampai saat ini belum mampu untuk membaca diri, sehingga semua gerakan yang dilakukan harus menunggu keadaan dari luar. Apa yang dianju

Menyoal ego

Munculnya paradigma Manajemen Sumber Daya Manusia yang tak lagi mengandalkan kecerdasan intelektual sebagai panglima jelas merupakan sebuah kemenangan manusia atas alam. Hal ini mengingat bahwa kedudukan manusia dalam beberapa periode sebelumnya hanya sebagai sebuah sumber daya yang tak jauh berbeda dengan sumber daya modal atau alam. Posisi ini menempatkan manusia tak lebih sebuah barang   modal. Dengan peralihan paradigma tersebut, manusia benar-benar dalam posisi manusiawi –mengabdi pada kemanusiaan, bukan pada modal, kekuasaan ataupun materi-. Dalam paradigma baru ini, kedudukan ego sedikit demi sedikit disingkirkan. Model individualisme yang selama ini dianut oleh barat dengan kukuh, mulai digantikan dengan komunalisme model timur. Kearifan bangsa timur yang sudah mendarah daging semenjak zaman purba mulai nampak kehebatannya. Timur memang semenjak dahulu   dikenal dengan filosofi kebijakan hidup yang luar biasa. Penegasian diri dengan melenyapkan ego telah membawa manusia m

Kehidupan zonder “aku

Segala bentuk ketamakan dan angan-angan muncul akan kesadaran “aku” dalam diri manusia. “Aku” akan membangkitkan segala sesuatu yang membuat manusia kehilangan fitrahnya. Kesadaran akan “aku” membuat manusia berusaha untuk mencapai kesenangan. Padahal dalam kesenangan selalu ada kepahitan, karena memang keduanya bagai tangan dalam dua telapaknya. Pasangan yang tidak bisa dipishkan sama sekali. Hidup bukanlah untuk mencari kesenangan dan menghindari kepahitan. Melainkan untuk sesuatau diatas segala bentuk dualisme kesenangan dan kepahitan, keindahan dan keburukan, kejahatan dan kebaikan, kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan kehinaan serta kecintaan dan kebencian. Bukan pula untuk menurutkan hawa nafsu. Karena nafsu tidak akan pernah terpuaskan selamanya. Ia akan membentuk suatu mata rantai yang tidak akan ada putusnya hingga manusia benar-benar kehilangan   hidupnya. Selain itu, hawa nafsu bukan lah untuk dikekang dan dihilangkan. Karena mustahil   hawa nafsu dapat dihilangkan tan

Transliterasi Budaya

Prolog Sebuah artikel di harian Kompas beberapa bulan yang lalu mengkritik kelemahan para penerjemah buku di Indonesia yang hanya sekedar mengalih bahasakan dengan mengartikan kata perkata saja. Aktifitas ini membuat hasil penerjemahan kehilangan akan makna intrinsiknya. Sebab antara bahasa Indonesia dengn bahasa asal terdapat beberapa kaidah yang berbeda, sehingga pengungkapan makna dalam bahasa asal tidak serta merta dapat mengungkapkan makna yang dimaksud ketika naskah terebut diterjemah begitu saja. So, dibutuhkan pemahaman akan bahasa asal sekaligus pemahaman bahasa Indonesia yang tidak diragukan lagi. Fenomena ini bukan hanya terjadi dalam bahasa teks saja, namun juga melanda aktifitas transfer keilmuan di Indonesia. Dalam kasus ini, konsep-konsep asing ditelan begitu saja lantas diterapkan dengan begitu saja juga di Indonesia. Tidak pernah ada analisis akan kesenjangan budaya antara negeri tempat konsep tersebut berasal dengan budaya Indonesia. Inilah yang dimaksud oleh Al

Mengembangkan Kekuatan Bahasa Pesantren

Bukan suatu yang asing bagi kalangan pesanten bahwa pelajaran tentang bahasa sangatlah mendominasi kajian-kajian di kelas-kelas. Hal ini dianggap sangat penting sebab ke depan, siswa didik dituntut untuk mampu menggali pengetahuan secara madiri dengan mempelajari teks-teks yang berbahasa arab. Umumnya, bahkan mungkin semua pesantren menggunakan buku-buku wajib yang berbahasa arab karangan ulama klasik dalam berbagai cabang keilmuan seperti hukum islam, sejarah, teologi, tafsir, hadits dan lain sebagainya. Selain itu, juga diajarkan sastra arab dengan suatu tujuan bahwa kelak, anak didik mampu merasakan keindahan yang terdapat dalam ayat-ayat al quran. Berdasar –minimal- kedua tujuan tersebut, maka porsi pelajaran kebahasaan sangat mendominasi kurikulum pesantren.  Dari satu sisi, dominasi disiplin bahasa tersebut terkadang mengandung kelemahan, sebab tak jarang seorang anak didik harus menyudahi pendidikannya hanya karena ia telah selesai menempuh suatu tahapan pelajaran bahasa, seme