Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2010

350 vs 3,5 Sebuah catatan mencari jejak nusantara di total football

Apa yang kita saksikan live semalam adalah pertandingan antara dua negara penjajah kita, Belanda dan Jepang. Belanda yang memiliki pengalaman 350 tahun mengangkangi nusantara sudah barang tentu memiliki keunggulan pengalaman dari Jepang yang hanya 3,5 tahun saja. Namun apakah ini ada hubungannya dengan sepakbola? Sudah tentu jawabannya tidak. Tulisan ini hanya sekedar mengajak kita untuk melihat apapun juga yang nampaknya tidak terbersit di benak kita. Selama 350 tahun lamanya menduduki Indonesia, banyak hal yang diperoleh Belanda, mulai dari ekonomi yang menurut banyak pihak, Belanda hanyalah gabus kecil yang mengapung di atas keringat dan darah rakyat Indonesia, hingga ke ilmu pengetahuan. Indonesia bak sebuah laboratorium terpadu yang menjadi kawah candradimuka ilmuwan Belanda. Di bidang antropologi, kita mengenal Snouck H, yang terkenal dapat menaklukkan Aceh dengan baik setelah ia mendalami islam –agama mayoritas rakyat Aceh-. Ada juga Wallace, yang membagi wilayah Indonesia berda

Agama: Wahana Memanusiakan Manusia

Dalam banyak hal, sebetulnya manusia seringkali kehilangan kemanusiaannya sama sekali. Kita dapat menyaksikan kebrutalan “binatang” pada saat manusia membantai manusia yang lain dalam berbagai peperangan yang pernah terjadi di dunia ini. Hal yang lebih tersamar juga terjadi disekeliling kita dalam adegan-adegan politik nan busuk dimana mangsa-memangsa dilestarikan, kibul-mengibul dibudayakan dan akhirnya rakyat jualah yang menjadi korban. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, manusia bukan hanya seperti binatang melainkan melebihi ganasnya binatang. Harimau hanya menerkam mangsa ketika lapar, tetapi manusia menerkam manusia dalam keadaan lapar atau kenyang. Harimau tidak pernah memakan anaknya, tapi manusia justru doyan memangsa darah daging sendiri. Sampai disini, manusia telah hilang kemanusiannya. Dalam kondisi ini, agama datang untuk mengembalikan manusia pada dasar fitrah kemanusiaannya. Agama mengajarkan manusia bagaimana bersikap dihadapan tuhannya, ditengah-tengah sesamanya serta

Just in time

Dalam manajemen persediaan, kita mengenal konsep just in time sebagai salah satu konsep paling efisien. Bagaimana tidak efisien jika barang yang kita butuhkan datang beberapa detik sebelum barang tersebut kita gunakan. Sudah barang tentu kita tidak memerlukan gudang penyimpanan untuk menampung barang tersebut. Sehingga efek domino selanjutnya adalah kita tidak lagi memerlukan gudang dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Walhasil, biaya produksi dapat ditekan dan produk dapat kita launching dengan harga yang relatif rendah. Akan lebih menarik jika konsep ini kita tarik kedalam konsep kehidupa kita sehari-hari. Sebagian besar orang menumpukan kesejahteraan pada berlimpahnya harta benda, lepas dari butuh tidaknya kita akan benda tersebut. Sebenarnya hal ini kurang efisien. Bagaimana kita diserahi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat harta benda yang sedang tidak kita butuhkan dengan biaya yang tidak ringan pula. Taruhlah kita memiliki mobil, maka kebutuhan kita akan mobil te

Hakikat Berfikir Strategis

Prolog Kuliah menstra yang diberikan oleh pak Amin Wibowo PhD ternyata sangat lumayan dan keluar dari kungkungan teknis kecil-kecilan. Dan umumnya memang apa yang diberikan oleh para dosen tamu di MM Unila memang sengaja diarahkan kepada filosofi ketimbang hal-hal yang berbau teknis. Hanya sayangnya, apa yang disampaikan oleh pak amin terjadi di belakang, yaitu pada pertemuan penutup kuliah manajemen strategi. Andai kata tidak, maka menstra akan menjadi sangat menarik karena hal-hal teknis diberikan setelah kita memahami esensi secara keseluruhan dari mata kuliah. Ya..penyesalan hanya terjadi di belakang, kalu tidak mana mungkin di namakan penyesalan. Berpikir strategis sangat sederhana Sebenarnya berfikir strategis adalah sangat-sangat sederhana, yaitu kita mencoba keluar dari masalah-masalah kecil nan teknis menuju pola pikir secara menyeluruh yang melihat segala sesuatau sebagai suatau yang saling terkoneksi. Itu mengapa posisi strategis berada di atas wilayah fungsional keuangan, p

Kota Tanpa Sastra

Ketika saya dengan khusyuk membaca karya-karya sastra, beberapa teman yang notabene adalah kandidat master berkomentar bahwa saya telah salah ambil jurusan di MM. andaikata hal ini terjadi begitu saja tanpa kita lihat akar permasalahan, sudah barang tentu akan terasa sangat janggal. Bagaimana mungkin seorang kandidat master memiliki pemahaman demikian sempit terhadap karya sastra, yang konon Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa kita boleh saja menjadi sangat ahli dalam berbagai bidang akademik, namun tanpa sastra kita hanya menjadi sebuah robot sahaja. Kita tahu bahwa Pram adalah satu-satunya pujangga nusantara yang mendapat prioritas memperoleh nobel sastra. Sastra bagi Pram adalah sebuah wahana untuk menegaskan jatidiri kita sebagai manusia. Kembali kepada permasalahan di awal tadi, andaikata saya masih berada di Djogja tentu tidak akan keluar komentar bahwa saya salah jurusan, meskipun seringkali juga saya merasa manajemen kurang pas bagi jiwa saya. Komentar yang keluar dari

Ningrat dalam Persimpangan

Sebenarnya, polemik ini sudah muncul beberapa dekade yang lalu, namun nampaknya masih menarik untuk kita bahas sebab bahasan kita kali ini bukan untuk melihat fenomena itu sendiri an sich, akan tetapi mencoba mengungkapnya dalam balutan syair lagu. Kebetulan judul lagunya saya kutip sebagai judul artikel ini, yaitu Ningrat buah karya dari Jamrud. Mengikuti liriknya, sejak awal kita melihat akan “kekecewaan” seorang muda terhadap sikap dari generasi tua yang seolah tertuduh sebagai penjaga tradisi yang membabi buta dan sewenang-wenang. Secara umum kita bisa mengikuti, bahwa memang logika yang digunakan oleh kedua pihak adalah berbeda. Tapi justru disinilah menariknya fenomena ini. Dalam kosakata peradaban, kita mengenal establish dan “yang lian”. Kedua hal ini bergerak dan diperebutkan oleh dua pihak yang saat ini memegang masing-masing satu hal. Pemegang establish tentu saja terus berupaya bahwa apa yang ia yakini sekarang ini akan terus menjadi sesuatu yang establish, sebalinya pemega

Surti, Tedjo dan Pemerintah

Saya tidak ingat betul kapan lagu Surti Tejo muncul, namun seingat saya, lagu ini rilis tahun 2000 atau 2001. Awalnya, ketika saya mengikuti lirik lagu ini, yang muncul adalah lirik-lirik jorok yang mengumbar suasana mesum. Namun bila ditelaah lebih lanjut, kekuatan lagu ini justru bukan pada aroma mesum lirik-liriknya, melainkan justru nilai kritisnya atas fenomena sekitar. Minimal ada tiga hal yang dapat saya tangkap dari suara serak kering vokalisnya, yaitu: Pendidikan Lagu ini mencoba melihat betapa rendahnya pendidikan masyarakat pedesaan. Kesan ini dapat kita lihat dalam lirik “..mereka saling mencinta sejak lulus SD”. Lirik ini bukanlah untuk menonjolkan panjangnya waktu pacaran yang dimulai sejak lulus SD,bukan pula mengeksplor kesetiaan seorang kekasih, tapi lebih menekankan kata “SD”, yang artinya memang itulah pendidikan tertinggi dari Surti dan Tejo. Makna inilah yang kemudian membantu untuk memahami poin kedua. Ekonomi Sebagai seorang lulusan SD saja, Tejo merantau ke kota