Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Politik Ketiak

Anak-anakku, kalian harus selalu bernaung di ketiakku selama aku masih mampu. Ingat, bapak kalian ini mendapatkan kehormatan sebagai lurah ini juga tak lepas dari naungan ketiak kakek kalian yang dulu adalah seorang komandan hansip yang tegas dan kereng. Pada waktu itu, kejantanan seseorang diwakili oleh ketegapan tubuh dan ketegasan dalam bersikap dan berkata-kata. Itu semua adalah atribut yang melekat dalam diri pribadi seorang hansip. Oleh sebab itu, setelah pensiun dari jabatan komandan hansip, kakek kalian mencalonkan diri menjadi lurah. Kalian tentu bisa menebak-kan? Para ibu-ibu, gadis-gadis dan remaja putri yang dadanya baru berbuah yang sangat tergila-gila dengan laki-laki seperti kakek kalian, pasti akan memilih mencoblos kakek daripada calon lurah yang lain. Dan memang ada bukti empiris yang mendukung hal itu. Dari laporan sebuah survei lembaga independen, diketahui bahwa tujuh puluh lima persen pemilih kakek adalah kaum hawa. Dari tujuh puluh lima persen itu, lima puluh p

Segala Nikmat

Konon, bapak moyang kami memaknai sebuah perkawinan sebagai sebuah tindakan yang berbau politik dan perjuangan yang layak untuk diperjuangkan dengan pengorbanan nyawa sekalipun. Leluhur kami, Ken Arok, berdaya upaya untuk menikahi Ken Dedes setelah secara sekilas ia melihat sebuah sinar wahyu yang keluar dari balik pakaian bawah Ken Dedes sewaktu ia turun dari kereta. Sinar wahyu tersebut menunjukkan bahwa sang pemilik akan menjadi ibu dari orang-rang besar yang berkuasa di tanah Jawa. Karena itulah Ken Arok tidak ragu untuk mengorbankan nyawanya demi membangun sebuah dinasti penguasa Jawa Dwipa. Leluhur kami selalu berkaca pada kalajengking dimana setiap kali pejantan membuahi sang betina, maka sang jantan akan mati. Itulah mati yang penuh makna, mati dalam membangun sebuah cita-cita besar, mati karena tersengat oleh cinta. Dan tentunya pengorbanan Ken Arok tidak sia-sia, sebab anak turunnya telah berhasil membangun nusantara kedua hingga nusantara ketiga. Ken arok memang dibunuh ole

efek cantik

Aku bosan menjadi cantik. Sebab selalu saja setiap tindakan dan perilakuku menjadi perhatian orang-orang. Bukankah itu sangat mengganggu kebebasanku. Belakangan setiap kali aku keluar rumah, selalu saja ada wartawan yang menguntitku untuk mencari berita yang cenderung dan selalu berkait dengan hal yang remeh-temeh itu. Ya mungkin mobilku mogok, anjingku sakit, dan lain sebagainya, pokoknya yang remeh temeh gitu deh. Kenapa yang remeh temeh itu justru sekarang menjadi faktor penghidupan bagi bayak orang. Kata asistenku, majalah yang memuat berita tentang anjingku yang sakit itu laku keras di pasaran sehingga penerbitnya mendapat pesanan untuk cetak ulang. Bayangkan, majalah bulanan dicetak ulang untuk berita yang sama, aneh bin ajaib kan? Tapi itu faktanya lho. Bahkan di daerah Jawa Timur tenyata seorang agen koran yang menjual majalah tersebut kini bisa naik haji sebab majalah tersebut dibeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga biasanya oleh sebuah komunitas yang mengaku sebagi

bangku

Tuanku, saat surat ini hamba tulis, hamba tidak tahu apakah hamba dalam keadaan sadar ataukah tertidur seperti beberapa waktu yang lalu. Tentulah tuanku tahu akan sebab-sebab hal itu. Bukankah bangku yang hamba duduki ini cukup nyaman untuk raga tua ini. Oleh karena itu hamba berharap tuanku berkenan memberi sejumput maaf. Tuanku, sebagaimana asal mualanya, bangku ini diciptakan dengan amat sangat nyaman. Suatu kenyamanan yang mungkn hanya bisa ditandingi oleh syurgamu tuanku. Empuknya melebihi dada gadis-gadis muda yang sering kelayapan di malam hari melalaikan tugasnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh guru mereka pada siang harinya. Kenyamanan yang diberikan oleh bangku ini tuanku, mampu menghisap sang waktu, sehingga hamba merasa hanya beberapa jam saja tidur di bangku ini. Namun menurut laporan orang-orag yang menjadi bawahan langsung hamba, ternyata hamba sudah tertidur di kuris ini selama dua kali sekian tahun, suatu masa yang menurut tata aturan, seharusny

Jam Dinding yang Berdetak

(menjinakkan Maslow dalam satu malam) Jam dinding yang berdetak merupakan sebuah naskah teater karya Nano Riantiarno yang berkisah seputar kehidupan keluarga ekonomi lemah yang tinggal di lingkungan pemukiman miskin dan para pensiunan. Melibatkan enam karakter dalam dua buah adegan. Keenam tokoh itu antara lain Thomas Pattiwael seorang ayah berumur kira-kira 45 tahun, Marie Pattiwael, istri berumur kira-kira 43 tahun, Benny, Anak Lelakinya, Magda, Anak perempuannya (kakak Benny), Oma, Seorang nenek tetangga mereka dan Polisi. Thomas dan Marie menjalani pernikahannya selama 25 tahun menjelang peristiwa. Dengan mengikuti jalan cerita yang dibangun oleh Nano melalui sebuah kesibukan keluarga miskin di pagi hari, nampak seubuah tema besar untuk menjungkir balikkan teori piramida kebutuhan yang dibangun oleh Maslow. Konon teori ini sebenarnya belum cukup untuk disebut sebagai sebuah teori melainkan hanya setingkat hipotesis sahaja . Anehnya, di Indonesia, piramida Maslow dianggap sebag

Presiden Balkadaba_hr1_Bangsa Kacung

Gambar

balkadaba 1

Gambar

Aku, Anu dan Asu

Suatu senja yang indah di atas lembah salah satu gedung besar komplek istana para dewa di kayangan, dewa konflik menikmati secangkir teh manis yang terbuat dari tiga helai daun teh muda yang sudah dijemur dengan kadar air hingga mencapai 2,5 persen diseduh dengan air mendidih pada suhu 100 derajat celcius dengan pemanis dari madu tawon yang bersarang di dahan pohon kapuk randu di tengah hutan belantara yang masih perawan. Sebagai dewa konflik, tugasnya sehari-hari adalah mencatat dan mengarsip semua konflik yang terjadi di muka bumi serta melengkapinya dengan catatan kritis sekaligus komentar-komentar terkait perkembangan pola konflik yang terjadi semenjak dunia ini dihuni oleh makhluk yang bernama manusia. Ia tengah menikmati masa cuti selama beberapa semester ke depan untuk memberi kesempatan kepada para asisten dewa konflik yang berjumlah tak kurang dari tiga belas asisten itu untuk memainkan peran penting dalam intitusi kekonflikan pemerintahan dewa di khayangan. Menurut cat

Plung

Aku masih teringat beberapa tahun yang lalu, suara plung masih terdengar di telingaku ketika melakukan aktifitas rutinan menjelang matahri terbit di pekarangan belakang rumah. Namun, suara yang seringkali memberikanku kebebasan dalam berimajinasi itu kini telah menjadi kenangan belaka. Bangunan kecil yang memiliki fungsi luar biasa penting bagi tubuh manusia untuk menjaga keseimbangan metabolisme tubuh itu kini tinggal puing belaka. Dahulu, ketika negara ini masih diperintah oleh seorang tua yang menjadi ikon binangun nagari, suara plung itu merupakan wahana penyauan diri dengan alam sekitar, dimana suara burung dan daun yang bergesekan tertiup angin menjadi harmoni nada-nada kehidupan di sini. Dahulu, nuansa senja nan indah selalu kami nikmati bersama-sama, ya.., penuh kebersamaan, dimana anak-anak seusia kami bermain beramai-ramai di halaman rumah, sementara para ibu dan para ayah mengelompok dalam komunitas masing-masing membicarakan hal-hal sederhana dalam kesederhanaan gaya hidup

Janda

Namanya Janda, tapi ia sebenarnya masih bersuami, bahkan sudah beranak satu umur dua bulan tiga belas hari lebih lima jam. Konon nama lengkapnya adalah Hartati Janda Naila. Jadi, ia adalah janda dalam nama, tapi bersuami dan beranak dalam realita. Sejak kecil ia memang lebih suka dipanggil dengan Janda, bukan Tati, Nail, Nana ataupun Ela. Ia tipe perempuan yang menolak mentah-mentah feminisme sebagai sebuah pola pikir. Katanya, feminisme hanyalah karya manusia-manusia yang tak pernah mensyukuri nikmat tuhan, bahkan cenderung melawan takdir dan menuntut lebih banyak dari yang seharusnya ia dapatkan. Maka tak heran jika ia, meskipun memiliki pendidikan terakhir strata dua, lebih enjoy tinggal dirumah mendidik putra tunggalnya yang masih berusia belia amat itu. Pendidikan anak baginya bukan hanya di sekolah, sebab sekolah hanyalah penghinaan bagi perempuan yang tidak mampu mendidik anaknya dengan baik, hanya bagi perempuan yang tidak mampu baca tulis dan menghitung sehingga untuk ma

Jan(-)Wari

Jan , tersangka kasus pengeboman diskotik EE (enak enak) pada malam tahun baru Usia 25 tahun Kebangsaan Perancis (menurut pengakuannya, tetapi di KTP tertulis ia adalah penduduk pesisir pantai selatan jawa bagian tengah) Pekerjaan karyawan swasta (masih menurut pengakuannya, namun setelah diselidiki lebih lanjut ke tempat ia bekerja, ternyata ia sudah di PHK dua bulan sebelum peristiwa) Pendidikan terakhir tidak diketahui, kemungkinan SMA atau MAN, sebab ia fasih dengan sedikit bahasa arab. Tapi juga mungkin STM, sebab ia mahir menggunakan gear motor untuk senjata (gear motor adalah senjata khas siswa STM ketika tawuran massal, dan belakangan, diadopsi oleh preman-preman. Bahkan tawuran massal juga diadopsi oleh beberapa fakultas di beberapa perguruan tinggi). Tinggi badan: 170 cm Warna kulit: kuning dengan sedikit bercak merah pada pergelangan tangan Hoby: sepak takraw, catur Prestasi: juara catur tingkat kecamatan pada saat usia 15 tahun Kutipan: serang dulu sebelum diserang sebab pe