bangku

Tuanku, saat surat ini hamba tulis, hamba tidak tahu apakah hamba dalam keadaan sadar ataukah tertidur seperti beberapa waktu yang lalu. Tentulah tuanku tahu akan sebab-sebab hal itu. Bukankah bangku yang hamba duduki ini cukup nyaman untuk raga tua ini. Oleh karena itu hamba berharap tuanku berkenan memberi sejumput maaf.

Tuanku, sebagaimana asal mualanya, bangku ini diciptakan dengan amat sangat nyaman. Suatu kenyamanan yang mungkn hanya bisa ditandingi oleh syurgamu tuanku. Empuknya melebihi dada gadis-gadis muda yang sering kelayapan di malam hari melalaikan tugasnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh guru mereka pada siang harinya. Kenyamanan yang diberikan oleh bangku ini tuanku, mampu menghisap sang waktu, sehingga hamba merasa hanya beberapa jam saja tidur di bangku ini. Namun menurut laporan orang-orag yang menjadi bawahan langsung hamba, ternyata hamba sudah tertidur di kuris ini selama dua kali sekian tahun, suatu masa yang menurut tata aturan, seharusnya hamba sudah tidak disini lagi karena digantikan oleh orang lain yang berkompeten seperti saat hamba dahulu menggantikan senior hamba.

Tapi tentu tuanku maklum adanya. Bukankah sang waktu selalu kalah atau mengalah bila berhadapan dengan kenyamanan? Hamba teringat kisah seorang senior yang pernah duduk di bangku semacam ini selama tiga kali dasawarsa lebih seperlima. Ia mengaku hanya duduk di bangku itu selama sebelas setengah jam saja. Jika ia yang selama itu hanya merasa sebelas setengah jam saja, tuanku bisa membayangkan perasaaan hamba tentunya. Ah, tentunya tuanku bisa memahami betapa lemahnya sang waktu jika menghadapi kenyamanan seperti yang hamba haturkan di permulaan tadi.
Tuanku, hamba bukanlah seorang yang berani lancang melanggar tata tertib maupun janji-janji yang telah terucap. Selama hamba tertidur, tentunya segala sesuatu berjalan apa adanya tanpa ada pengarahan dari hamba. Padahal sudah menjadi tugas hamba untuk selalu memberi arahan dan bertanggng jawab penuh atas perjalanan segala sesuatu yang telah direncanakan dan hamba janji-janjikan jauh hari sebelum hamba duduk di tempat ini. Semua janji dan rencana yang telah keluar dari mulut-mulut berbusa di lapangan dalam rapat-rapat raksasa yang dihadiri ribuan rakyat kecil pendukung hamba serta slogan-slogan berdamping foto hamba yang tersebar di pojok-pojok permepatan jalan besar itu adalah jannji suci dan rencana hamba yang wajib hamba laksanakan dengan taruhan darah dan nyawa. Dan hamba akan pasti akan mewujudkan hal itu, tuanku.

Akan tetapi tuanku, bukankah waktu telah menghianati hamba dengan tunduk kepada kenyamanan bangku itu? Hamba tertidur dalam masa-masa seharusnya hamba merealisasikan janji dan rencana yang telah hamba buat. Dan kini, waktu hanya tersenyum mengejek melihat hamba sudah berada di ujung masa tugas ini. Ah betapa kejam kau sang waktu. Andaikata hamba mampu masuk ke dalam dimensi waktu, maka hamba akan menuntut waktu untuk berbuat sangat adil dan supaya jangan tunduk terhadap kenyamanan, apapun itu.
Tuanku, sekali lagi hamba bukanlah orang yang suka melanggar tata aturan yang telah berlaku. Oleh karena itu, mengingat akan janji-janji hamba dan mengingat lemahnya waktu menghadapi kenyamanan, maka hamba berencana untuk mengubah tata aturan yang selama ini berlaku terkait dengan jangka waktu dimana seseorang diperkenankan duduk di atas bangku ini.

Tuanku, hamba akan memperpanjang jangka waktu tersebut menjadi dua kali lipat dari waktu semula. Sebab hamba tidak ingin melihat janji-janji dan rencana yang telah hamba tetapkan, nantinya akan menjadi beban saja bagi arwah hamba yang sebentar lagi tentu akan menghadapmu tuanku. Di sisi lain hamba tidak mungkin untuk melanggar tata aturan yang sudah berlaku. Maka jalan satu-satunya adalah mengubah tata aturan tersebut tuanku. Bukankah segala peraturan dibuat untuk membawa ketertiban tuanku, maka demi ketertiban jugalah aturan ini hamba ubah

Tuanku, mohon perkenanmu.

Jalan kopi, 27 Maret 2011, 14:00

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis