Jam Dinding yang Berdetak

(menjinakkan Maslow dalam satu malam)
Jam dinding yang berdetak merupakan sebuah naskah teater karya Nano Riantiarno yang berkisah seputar kehidupan keluarga ekonomi lemah yang tinggal di lingkungan pemukiman miskin dan para pensiunan. Melibatkan enam karakter dalam dua buah adegan. Keenam tokoh itu antara lain Thomas Pattiwael seorang ayah berumur kira-kira 45 tahun, Marie Pattiwael, istri berumur kira-kira 43 tahun, Benny, Anak Lelakinya, Magda, Anak perempuannya (kakak Benny), Oma, Seorang nenek tetangga mereka dan Polisi. Thomas dan Marie menjalani pernikahannya selama 25 tahun menjelang peristiwa.

Dengan mengikuti jalan cerita yang dibangun oleh Nano melalui sebuah kesibukan keluarga miskin di pagi hari, nampak seubuah tema besar untuk menjungkir balikkan teori piramida kebutuhan yang dibangun oleh Maslow. Konon teori ini sebenarnya belum cukup untuk disebut sebagai sebuah teori melainkan hanya setingkat hipotesis sahaja . Anehnya, di Indonesia, piramida Maslow dianggap sebagai salah satu teori baku yang mendasari berbagai bentuk praktik motivasi untuk meningkatkan kinerja. Pada dasarnya, teori ini dibangun pada saat kondisi dunia sedang dilanda perang dingin . Dalam propagandanya, Amerika Serikat memelopori serangan dengan berbagai cara termasuk dalam ranah teori. Secara umum, aliran amerika (barat) mengkampanyekan bahwa semua hal yang terkait dengan keterbelakangan sumber daya manusia yan pada akhirnya membawa pada keterbelakangan negara dan bangsa adalah berangkat dari individu manusia-manusia itu sendiri bukan sistem yang dipraktikkan oleh negara sebagaimana yang dianjurkan oleh kaum sosialis. Oleh karenanya, solusi yang menyentuh akar permasalahan adalah dengan mengubah pola pikir individual. Dari sini muncullah beberapa teori motivasi seperti Nach, teori X dan Y serta Maslow.

Dalam kisah ini, Thomas maupun Marry adalah sosok yang dalam sudut pandang Maslow masih berkutat pada kebutuhan tingkat pertama yaitu fisiologi. Thomas adalah lelaki yang merasa tidak mendapat kepuasan atas servis istrinya sehingga ia harus keluar untuk mendapatkannya dengan wanita lain. Sementara Marry, seorang wanita yang otaknya dipenuhi permasalahan materi. Dallam pandangan Maslow, hierarki kebutuhan yang ia susun tidaklah dapat dicapai oleh manusia kecuali melalui tingkatan yang paling bawah terlebih dahulu. Ini artinya, selama urusan sex dan perut belum mencukupi Thomas dan Marry, maka keduanya dan siapapun yang senasib tidak akan mampu untuk menggapai dan membayangkan kebutuhan tingkat di atasnya.

Akan tetapi selanjutnya justru kita lihat Nano menempatkan Benny sebagai alat untuk mendobrak keimanan Maslow tersebut. Benny digambarkan sebagai mahasiswa yang “idealis” atau “kurang mampu menempatakan” sisi kebaikan dan kelayakan di atas kebenaran sehingga ia harus DO karena berdebat dengan dosennya. Ada satu hal yang cukup menarik untuk kita perhatikan adalah perhatian dan minat Benny yang kuat atas lukisan. Terlepas dari apa sebenarnya jurusan yang ia ambil di bangku kuliah, pilihan atas aktivitas melukis dipilih oleh Nano tentu tidak asal pilih. Bukankah melukis adalah sebuah proses aktualisasi diri yang dalam pola pikir Maslow mnempati tingkatan tertinggi? Melukis adalah sebuah pemberontakan atas segala sesuatu yang kasat mata. Lantas bagaimana juga selanjutnya Nano menciptakan sebuah dialog yang mencoba mengungkapkan suasana bahwa Benny tak lagi berada dalam orientasi pada kebutuhan fisiologinya. Saya melihat Nano memang sengaja mencoba membuktikan kesalahan pola pikir Maslow bahwa lima macam kebutuhan yang telah di susun dalam piramida tersebut sebenarnya hanyalah pola yang tidak lagi paten. Semua orang mampu dan berhak untuk memiliki kebutuhan tertinggi tanpa harus merangkak dari kebutuhan paling bawah terlebuh dahulu.

Dari dua sisi yang coba dipertentangan oleh Nano melalui Papa dan Mama dengan Benny, Nano menempatkan Magda sebagai sebuah variabel penyambung untuk melunakkan kedua sisi ekstrim tersebut. Magda berada pada posisi yang memahami keadaan dan pola pikir kedua belah pihak tanpa harus memperlihatkan kecenderungann karakternya sendiri. Atau justru mungkin karakter yang coba ia wakili adalah sisi moderat itu sendiri.

Epilog
Apapun, naskah teater ini layak membuat kita mencoba merenungkan kembali pola pikir yang digunakan Maslow dalam menysusun hierarki kebutuhannya. Sejak awal, konsep ini dibangun tidak lepas dari sebuah agenda dan kecenderungan politik yang memiliki potensi mengganggu netralitas keilmuan. Dan memang semua ilmu tidaklah netral atau bebas nilai sebagaimana lantas memunculkan kritik ideologi.

Jalan kopi, Kamis, 24 Maret 2011
09:25



Komentar

  1. Maksud dari teori maslow itu sendiri dalam jam dinding yang berdtak bgmna gan? Apakh sama teori mslow ini sprti tingktn piramida status sosial..?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis