Atheis


Prolog
Tulisan Wienta Diarsvitri (Kompas, 25 juli 2010) dalam rangka mengenang Achdiat Karta Mihardja mengingatkan pada sebuah koleksi pribadi yang belum sempat terbaca. Atheis, sebuah novel karya Achdiat yang dianggap sebgai karya sastra besar nan orisinil dari sisi cerita itu, telah berbulan-bulan tersimpan dalam bentuk pdf. tanpa tersentuh sama sekali. Setelah membaca ulasan Wienta, timbul hasrat besar untuk menelusuri roman sejarah karya angkatan ’45 ini.

Atheis dalam cerita
Kalau tidak salah, om GM pernah menulis sebuah “pembelaan” bagi kaum atheis. Atheis bukanlah sebuah pengingkaran terhadap keberadaan tuhan, namun merupakan keengganan (baca: ketidakberanian) seorang hamba untuk membahasakan dzat yang tak mungkin tergapai oleh bersitan benak manusia ke dalam bahasa. Keengganan ini selanjutnya membuat penganut paham ini menghindari bahasa “tuhan” . Menurut mereka, membahasakan tuhan merupakan suatu tindakan penghinaan atas tuhan itu sendiri. Sebab bagaimana mungkin yang tak tergambarkan dalam benak manuisa itu dapat terakomodir dengan sebuah bahasa yang notabene merupakan hasil olah karya manusia sendiri. Terdapat dua sisi yang tak mungkin disatukan dalam kasus ini, hubungan antara signifier dan signified sangat-sangat tidak masuk akal. Dengan demikian, jalan yang diambil adalah tidak memasukkan “tuhan” dalam segala macam pernik kehidupan.
Namun konsep “pembelaan” dari om GM ini nampaknya sudah berbeda posisi semenjak dalam definisi saja. Atheis yang imani Rusli dan Anwar memang murni menghindari kepercayaan atas segala macam yang berbau ghaib. Nuansa materialisme cukup kental dalam pandangan berfikir mereka.
Melongok sebentar tentang jalan kehidupan Hasan (tokoh utama), Achdiat nampak dengan gamblang mengggambarkan bagaimana terombang-ambingnya Hasan akibat lingkungan pergaulan dengan orang-orang dekatnya. Si saleh ini berubah total menjadi sang atheis akibat pola pengajaran Rusli yang cenderung simpatik dan mengena. Namun unsur lain yang lebih berpengaruh dalam diri Hasan sebenarnya adalah Kartini. Sosok ini memiliki daya tarik yang sedemikian besar sehingga membawa Hasan masuk dalam jangkauan sang Rusli yang dengan sangat profesional mampu membalik keimanan Hasan, si pengamal tharekat. Tharekat yang oleh ayahnya diumpamakan wahana untuk mencapai hakekat, atau dalam bahasa analognya adalah sebuah pedoman bagi perahu yang akan digunakan untuk menggapai mutiara yang terpendam di dasar laut itu, mulai ditinggalkan Hasan.
Hal yang tak boleh dilupakan juga adalah sikap oportunis Hasan sebagaimana dituduhkan oleh Anwar sehingga cenderung berpura-pura atau bersandiwara untuk menghindari konfrontasi langsung dengan orang yang berbeda paham dengannya. Namun sayangnya sikap oportunis ini justru hilang ketika Hasan berada dalam lingkungan keluarganya sendiri, sehingga muncullah jiwa pemberontakan yang membawanya pada pertentangan paham cukup keras dengan ayahnya sendiri sehingga dengan bijak penuh mengalah, sang ayah menawarkan perpisahan jalan dengan baik-baik kepada anak tunggalnya itu.

Sang Achdiat
Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911. Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School bagian Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme.
Tahun 1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi).
Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini.
Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switserland. Saat itu ia juga mengunjungi Negeri Belanda, Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan Roma. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep. PP&K untuk mempelajari soal-soal pendidikan orang dewasa (termasuk penerbitan bacaan-bacaannya) dan 'university extension courses'. Kesempatan ini digunakan juga untuk mempelajari seni drama di Amerika Serikat. Tahun 1956 selama setahun memperdalam bahasa Inggris serta sastranya di Sydney University dalam rangka Colombo Plan. Tahun 1960 menjabat Kepala Inspeksi Kebudayaan Djakarta Raya dan memberi kuliah pada FS-UI tentang Kesusastraan Indonesia Modern.
Tahun 1961 menjabat sebagai Lektor Kepala pada Australian National University di Canberra, mengajar sastra Indonesia Modern dan bahasa Sunda. Sampai sekarang ia masih tinggal di Australia.*
Dalam novel ini Achdiat menampilkan kepiawaiannya mengolah penuturan dua aliran yang saling bertentangan ini. Melalui sosok Ruslan, Anwar, dan Parta, Achdiat dengan fasih mengulas pokok-pokok pemikiran kiri. Mulai dengan membongkar rasa keimanan yang sudah terpatri dalam jiwa dengan menggunakan potensi daya kritis manusia, mengungkap sitem masyarakat yang tidak adil sehingga menghasilkan manusia-manusia yang lari dari kenyataan hingga mengobrak-abrik kepercayaan ghaib yang dituduh sebagai akhir dari pelarian-pelarian tersebut. Dan semuanya memang masuk di akal, sistem sosial yang tidak adil sebagaimana dipraktekkan dalam kapitalisme telah menciptakan manusia-manusia papa dan miskin. Orang-orang yang tak berdaya ini lantas mengalihkan perhatiannya dengan menggeluti segala hal yang berbau ghaib (mitos, tahayul, tuhan dan lain sebagainya). Setelah pergulatan yang lama dengan barang-barang ghaib ini, hilanglah rasa kritis masyarakat sehingga menganggap sistem yang tidak adil sebagai sebuah fenomena yang wajar. Dampaknya adalah semakin kuatnya kuku penindasan dicengkeramkan.
Kaum kiri seperti Rusli akan terus berusaha menciptakan kebencian-kebencian dalam mayarakat terhadap berlangsungnya sistem ini. Itu sebabnya mereka mengecam sedekah yang diberikan kepada peminta-minta, sebab itu akan mematikan rasa benci mereka kepada sistem yang ada. Dengan mengakumulasi kebencian inilah Rusli dan kawan-kawan akan melakukan revolusi menggulingkan sistem dan menggantinya dengan sosialis untuk menciptakan kerajaan sorga.
Disisi lain, Achdiat juga tak kalah menarik dalam mengulas wilayah ghaib yang dalam hal ini diwakili oleh wacana tharekat. Hal ini dapat dimaklumi, sebab Achdiat adalah seorang pelaku tharekat. Tharekat diandaikan sebuah upaya bathin untuk menggapai hakekat atau realitas sejati. Ia merupakan pedoman supaya syariah yang merupakan aktifitas lahir bisa memiliki makna yang menancap di dalam dada pelakunya. Syariah dan tharekat harus menyatu dalam setiap praktek ibadah sehingga akan membawa sang empunya menuju hakekat. Konsep ini akan mirip dengan sosiologi hukum ciptaan Prof Satjipto Rahardjo (alm). Konsep yang dikenal dengan madzhab peleburan ini memandu hukum dengan menggunakan pendekatan sosiologi, sehingga hukum tidak lagi terpisah dengan realitas sosial masyarakatnya, melainkan menyatu dan akhirnya, hukum mampu mencapai cita-cita sosialnya yaitu menjaga dan menjamin ketertiban masyarakat.
Ada banyak pelajaran yang mampu kita petik dari sebuah novel yang sedikit berbau dialek lama ini, minimal membangkitkan rasa kritis kita akan segala hal yang terjadi di sekitar kita. Sebagai manusia yang dibekali oleh akal budi, maka akan sangat disayangkan bila kita menerima fenomena sosial secara apa adanya tanpa memikirkan untuk mempertanyakannya sama sekali.
Selamat jalan pak Ahcdiat….

*Atheis, cetakan kesebelas (1990)
Jalan Kopi, 26 Juli 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*