Punah

Desa itu ramai sekali. Rumah-rumah penduduk begitu rapat memanjang mengikuti kemana jalan mengarah. Berbagai fasilitas umum dan ruang terbuka telah tersedia secara lengkap. Demikian pula dengan saran ibadah. Singkat kata, desa itu benar-benar dibangun dengan perencanaan yang matang. Namun yang mengherankan adalah tidak nampak seorang manusiapun yang menghiasi jalanan maupun fasilitas-fasilitas umum. Desa itu nampak seperti sebuah pemukiman mati. Dan ternyata desa itu memang desa mati. Kini yang tinggal di desa itu hanya kepala desa yang sudah menjabat selama tiga setengah periode. Sebenarnya hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang yang berlaku di desa itu. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang mau menjadi pengganti dirinya menjadi kepala desa. Pilkades sudah digelar menjelang berakhirnya masa tugas sang kepala desa, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mendatangi tempat pemungutan suara. Sebab memang penghuni desa itu kini tinggal orang-orang tua yang sudah jompo, atau minimal sudah enggan mencium udara segar dan sinar matahari. Mereka memilih untuk tidak keluar rumah sama sekali. Meskipun demikian, pemungutan suara ulang digelar juga oleh kepala desa, tetapi hasilnya nihil, tidak ada seorangpun yang mau melangkahkan kakinya ke tempat pemungutan suara. Akhirnya sang epala desa menyerah dan membiarkan beban sebagai kepala desa masih bertengger dipundaknya.
Menjadi kepala desa adalah dambaan setiap orang. Bukan hanya kepala desa, kepala apapun asalkan itu mengandung unsur jabatan, setiap orang pasti akan mengejarnya. Sudah barang tentu banyak motif yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Namun di desa ini hal itu tidak terjadi sama sekali, sebab kepela desa merupakan suatu beban yag teramat berat untuk ditanggung. Menjadi kepala desa di desa itu sekaligus harus menjadi ketua RT, ketua RW, modin, kepala keamanan, kepala kebersihan, kabag kesra, kabag lain-lain dan sebagainya. Karena memang tidak ada lagi seorangpun yang mau memegang berbagai posisi-posisi tersebut.
Hal ini sebenarnya belum lama terjadi, minimal bermula semenjak dua atau tiga tahun belakangan. Saat itu banyak sekali anak-anak muda dari desa tersebut yang melanjutkan pendidikannya di kota. Namun belakangan justru mereka tidak mau kembali ke desa tersebut. Maklum, pendidikan kota mengabdi kepada kepentingan kota. Mereka dididik untuk siap mengisi berbagai sektor yang sudah mapan dan akan dikembangkan di kota. Sudah barang tentu dengan iming-iming yang menjanjikan, mulai dari gaji, tunjangan, kesempatan karir dan lain sebagainya. Berawal dari itu, mulailah berbondong-bondong anak-anak desa itu meninggalkan desa kelahiran mereka. Lebih-lebih ketika beberapa perguruan tinggi dan sekolah-sekolah di kota yang konon dikelola dengan manajemen bisnis modern itu menawarkan berbagai kemudahan dan beasiswa bagi anak-anak yang berprestasi. Tak ayal, lengkap sudahlah penghisapan kota.
Saat itu, penduduk desa itu belum memikirkan dampak jangka panjangnya bagi keberlangsungan kehidupan dan peradaban desa mereka. Namun semakin hari semakin nampak saja dampak tersebut hingga kini mulai memasuki puncaknya. Banyak kebun yang terbengkalai, sawah-sawah mulai tak terawat, bahkan tak sedikit yang kemudian berganti menjadi perumahan-perumahan yang dibangun dengan sekumpulan dana tabungan dari anak-anak desa yang mengabdikan tenaga dan pikirannya di kota tersebut.
Ketika hari-hari libur tekah tiba, berbondong-bondonglah anak-anak desa yang mengabdikan hidupnya di kota tersebut pulang menemui keluarga mereka. Lalu terpampanglah suatu pemandangan yang aneh bin ganjil. Sekelompok orang-orang dengan pakaian perlente yang sudah tercerabut dan terasing dari tempat mereka dilahirkan. Perbincangan-perbincangan yang serius maupun yang semi serius tidak lagi mengarah bagaimana merumuskan strategi untuk memajukan desa tersebut tetapi beralih pada trend gaya hidup yang dikhutbahkan di televisi-televisi
Kepala desa hanya bisa mengelus dada melihat kenyataan ini. Dulu, anak-anak itu disekolahkan ke kota dengan tujuan untuk mempersiapkan generasi pengganti yang melek kemajuan dan teknologi. Namun kini mereka menjadi insan-insan cerdas yang tidak lagi melek akan lingkungan asal mereka. Kepala desa lupa atau memang tidak pernah memikirkan bahwa anak-anak yang dulu lugu itu tidak akan pernah menang melawan peradaban gemerlap yang ditawarkan oleh kota sehingga membuat mereka benar-benar takluk bertekuk lutut.
Penyesalan mesti selalu terjadi di belakang, karena kalau di depan pasti tidak akan mau diberi nama penyesalan. Oleh sebab itu ia selalu terlambat datang menghampiri manusia. Dan kepala desa adalah manusia maka iapun terlambat menyesali keadaan. Kini ia harus memanggul beban untuk mempertahankan peradaban nenek moyangnya dari kepunahan. Apapun rasanya, ia toh tidak bisa lagi mengharap uluran tangan generasi mudanya yang jelas-jelas mengabdi kepada kepentingan kota yang tak pernah kenyang menghisap desa itu. Beberapa hari yang lalu ia membersihkan selokan yang tersumbat dan mengakibatkan banjir meskipun tidak berbahaya. Pernah juga ia menggali kuburan, memandikan mayat, mengkafani lantas membawanya ke kuburan dengan menggunakan gerobak usang dan menguburkannya seorang diri juga. Akankah kelak ia harus menggali kuburnya sendiri? Wallahu A’lam.

Jalan Kopi, 26 November 2010
16:42

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis