Janda


Namanya Janda, tapi ia sebenarnya masih bersuami, bahkan sudah beranak satu umur dua bulan tiga belas hari lebih lima jam. Konon nama lengkapnya adalah Hartati Janda Naila. Jadi, ia adalah janda dalam nama, tapi bersuami dan beranak dalam realita. Sejak kecil ia memang lebih suka dipanggil dengan Janda, bukan Tati, Nail, Nana ataupun Ela. Ia tipe perempuan yang menolak mentah-mentah feminisme sebagai sebuah pola pikir. Katanya, feminisme hanyalah karya manusia-manusia yang tak pernah mensyukuri nikmat tuhan, bahkan cenderung melawan takdir dan menuntut lebih banyak dari yang seharusnya ia dapatkan. Maka tak heran jika ia, meskipun memiliki pendidikan terakhir strata dua, lebih enjoy tinggal dirumah mendidik putra tunggalnya yang masih berusia belia amat itu. Pendidikan anak baginya bukan hanya di sekolah, sebab sekolah hanyalah penghinaan bagi perempuan yang tidak mampu mendidik anaknya dengan baik, hanya bagi perempuan yang tidak mampu baca tulis dan menghitung sehingga untuk masalah ini, anaknya harus dititipkan kepada guru-guru di sekolah. Tapi ia adalah seorang master, jadi bagaimana mungkin menyerahkan pendidikan anaknya kepada sarjana S1, gengsi dong pikirnya.

Baginya lagi, pendidikan anak harus dimulai semenjak ia dan suaminya berikhtiar untuk membikin anak, prenatalitas education dalam bahasanya. Dalam ajaran bapak moyangnya, wanita hamil dilarang untuk duduk di depan pintu. Dengan latar belakang pendidikannya yang master itu, sekarang ia lebih mampu untuk melihat konsep kuno bapak moyangnya ini dengan analisis modern. Maka iapun mengikuti anjuran leluhur ini dengan sikap kritis, sama sekali tidak hanya berhenti dalam lahiriah konsep tersebut, namun masuk ke dalam filosofi luhur yang terkandung di dalamnya. Bahwa seorang, lebih-lebih yang sedang mengandung tidak layak dan tidak sopan jika duduk di depan pintu. Tentu dengan berbagai alasan dia antaranya adalah terakit masalah utilitas. Sudah barang tentu aktifitas duduk di depan pintu akan mengurangi nilai fungsi dari pintu, dan ini menurut analisisnya adalah tidak efisien.

Dalam ajaran luhur bapak moyangnya yang lain, seorang yang sedang hamil dilarang untuk melompati genangan air yang ada di jalan ketika ia sedang berjalan kaki. Hal inipun diturutinya dengan baik setelah ia menyelami berbagai nilai yang terkandung dalam anjuran konsep ini. Dalam sebuah pendalamannya pada wilayah psikologi, ia menemukan bahwa sikap moral dan mental seorang ibu pada saat mengandung akan membawa akibat pada kondisi mental dan moral sang jabang bayi yang ada dalam kandungan. Oleh sebab itu, maka wanita hamil dalam anjuran bapak moyangnya dilarang untuk melompati genangan air yang ada di jalan sebab tindakan itu mengandung makna, terpendamnya kondisi jiwa yang jalang dalam sang ibu, seorang wanita yang melompat-lompat. Hal ini dihindari dengan tujuan supaya jabag bayi yang masih dalam kandungan kelak terhindar dari sifat-sifat jalang.

Itulah sekelumit pendidikan yang dilakukan oleh Janda untuk puteranya. Bahkan ia bercita-cita untuk tidak memasukkan anaknya nanti ke sekolah. “lebih baik bikin home schooling saja yah” katanya suatu ketika kepada suaminya yang baru pulang dari tempat kerjanya. Lagi-lagi dengan kemampuan intelektualnya, ia yakin akan mampu untuk mendidik puteranya melebihi pendidikan yang diberikan oleh sekolah formal.

Apa yang dilakukan oleh Janda sebenarnya tidaklah datang dengan tiba-tiba. Semua itu berawal dari bangkitnya kesadaran dirinya ketika mengikuti sebuah seminar tentang wacana postmodernisme saat ia masih duduk di bangku kuliah dahulu. Pada saat itu di kotanya, wacana feminisme yang menggejala sebagai respon semangat postmodern dibawa oleh seorang wanita cerdas yang baru pulang dari pendidikan doktoralnya di luar negeri. Sontak kota itu menjadi sebuah ikon bagi perkembangan pemikiran postmodern wabil khusus feminisme di negerinya. Dalam pandangan ini, wanita melakukan perlawanan terhadap hegemoni laki-laki dalam semua ranah kehidupan. Mulai dari hal-hal yang rumit hingga hal-hal yang sederhana seperti hak dan kewajiban suami dan istri dalam lingkungan keluarga.

Namun dalam pandangan Janda, hal itu hanyalah suatu bentuk pengingkaran terhadap takdir dan penghindaran dari kewajiban asasi seorang wanita. Dengan mengikuti konsep itu, wanita enggan lagi memainkan peran sebgai seorang pendidik ulung dalam keluarga. Mereka lebih bernafsu untuk keluar rumah bersaing dengan kaum adam dalam mengais rejeki, lantas pendidikan anak mereka serahkan kepada lembaga yang bernama sekolah. Lembaga ini beroperasi dengan dasar kesadarn yang sama denga kesadaran feminis, yaitu menghasilkan pundi-pundi uang. Semua guru yang seharusnya mengajar dengan hati, kini mengajar untuk mengejar uang sehingga pendidikan rohaniah sang anak didikpun mengikuti semangat pengejaran terhadap uang. Maka timbullah tumpang tindih dalam peran antara wanita dan pria. Pria tidak lagi profesional dalam mencari uang sebab istri mereka juga membantu mencari uang, sebaliknya, wanita tidak lagi profesional dalam mendidik anak, sebab mereka telah melangkah keluar dari peran asasinya. Inilah jenis peradaban yang sangat tidak disetujui oleh Janda. Maka selepas mengikuti pendidikan strata dua, ia berfokus untuk melawan konsep feminisme dengan tindakan nyata. Sekolah yang dulu hanya sebagai wahana pembantu bagi para ibu yang tidak bisa mengajari anaknya menulis, membaca dan menghitung kini telah menjadi lembaga yang harus ada bagi pendidikan anak meskipun ibunya mampu untuk mendidiknya. Janda berupaya untuk mengembalikan sekolah ada peran purbanya itu. Sebab ia telah memiliki segala kemampuan dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh para guru di sekolah, maka ia tak mau memasukkan anaknya ke dalam sekolah. Hitung-hitung juga untuk mengebalikan manusia kepada peran asasinya, wanita sebagai pendidik keluarga, laki-laki sebagai pemimpin yang berkewajiban untuk memenuhi segala keperluan perempuan dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik keluarga.

**

Menurut penuturannya, ayahnya memberi nama Janda baginya sebab ayah terinspirasi oleh pemimpin spiritual tertinggi dalam agamanya yang menikahi seorang janda. Hingga meninggalnya janda tersebut, sang pemimpin tidak pernah menikah. Baru setelah menduda, ia melakukan pernikahan lagi, bahkan poligami. Namun semua pernikahan yang dilakukannnya adalah berlatar belakang perjuangan menyebarluaskan ajaran yang ia yakini. Meskipun pada akhirnya ayah janda menikahi seorang perawan yang masih muda, namun obsesinya untuk mengikuti jejak sang pemimpin spiritual tidak pernah punah. Ia mengkritik habis-habisan tokoh-tokoh publik yang hanya mencontoh hal-hal enak dan sederhana yang dilakukan oleh pemimpin spiritual, diantaranya menikahi lebih dari satu istri. Namun hal itu dilakukan dengan memenggal konteks latar belakang perjuangan yang menjadi landasan penting poligami sang pemimppin. Kini, dengan santainya, seorang tokoh publik menikahi beberapa wanita tanpa motif apapun selain berahi dan nafsu dengan dalih mengikuti sunnah pemimpin. Ayah Janda muak dengan semua hal itu. Makanya ia melawan dengan tindakan nyata, yaitu obsesinya untuk bermonogami dan menikahi janda. Jalan nasib mengatakan lain, seorang teman mengenalkannya dengan gadis muda belia yang sudah siap nikah dini. Iapun menerima karunia tuhan itu dengan tangan terbuka. Meski demikian, untuk mengenang obsesinya yang tak pernah mati, ia menyisipkan kata “janda” dalam nama anak pertamanya, Hartati Janda Naila.

Jalan Kopi, 24 Januari 2011. 14:14

Komentar

  1. Best Casinos Near Me - Casino Finder
    MapYRO Hotels & Resorts. Find Casinos 동해 출장마사지 Near 라이브스코어 Me, United States, Find Casinos 익산 출장마사지 Near You, Find Casinos 속초 출장샵 Near You, Find 군포 출장샵 Local Casinos,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis