Plung

Aku masih teringat beberapa tahun yang lalu, suara plung masih terdengar di telingaku ketika melakukan aktifitas rutinan menjelang matahri terbit di pekarangan belakang rumah. Namun, suara yang seringkali memberikanku kebebasan dalam berimajinasi itu kini telah menjadi kenangan belaka. Bangunan kecil yang memiliki fungsi luar biasa penting bagi tubuh manusia untuk menjaga keseimbangan metabolisme tubuh itu kini tinggal puing belaka.
Dahulu, ketika negara ini masih diperintah oleh seorang tua yang menjadi ikon binangun nagari, suara plung itu merupakan wahana penyauan diri dengan alam sekitar, dimana suara burung dan daun yang bergesekan tertiup angin menjadi harmoni nada-nada kehidupan di sini.
Dahulu, nuansa senja nan indah selalu kami nikmati bersama-sama, ya.., penuh kebersamaan, dimana anak-anak seusia kami bermain beramai-ramai di halaman rumah, sementara para ibu dan para ayah mengelompok dalam komunitas masing-masing membicarakan hal-hal sederhana dalam kesederhanaan gaya hidup mereka.
Dahulu kala, konon, gaya hidup belum menjadi gaya dalam kehidupan, sebab hidup tidak perlu membawa gaya, namun cukup mengikuti alur sebagaimana wajarnya saja.
Kemarin dulu, pola komunikasi benar-benar terjaga dalam tindak-tanduk dan olah kata yang teratur, sehingga kita bisa mengetahui siapa bicara dengan siapa hanya dengan mendengar gaya tutur bahasanya tanpa melihat sosoknya. Atau, jika kita berada di tempat yang jauh sehingga mata kita tidak bisa meraba sosok siapa yang sedang bercakap, maka tetap saja kita bisa mengetahui siapa bicara dengan siapa melalui bahasa tubuh yang diperagakan oleh kedua siapa itu.
Dulu, tata ruang rumah-rumah tinggal benar-benar mengikuti kondisi alam negeri ini yang tropis dan cenderung agraris, sehingga rumah adalah bagian yang menyatu dengan alam sekitarnya, penuh dengan keserasian dalam simponi alam. Seringkali kami menemukan bahwa ruang tamu selalu dibuat lebih mewah daripada ruang-ruang yang lain, dan berakhir dengan kondisi ruang paling belakang yang paling tidak mewah. Ini merupakan aplikasi nyata dari falsafah bapak moyang kami untuk tidak mementingkan diri sendri, melainkan mementingkan orang lain yang akan bertamu ke rumah kami. Kami rela memiliki kamar, ruang keluarga, ruang makan dan dapur yang biasa-biasa saja asalkan kami dapat menerima tamu kami dalam ruang yang layak dan kalau bisa mewah dengan lantai yang halus licin.
Dulu, kami selalu menampakkan wajah yang ramah sekalipun orang lain sedikit menyakiti. Begitu juga ketika kami menerima orang asing, kami selalu dalam keadaan ramah dan murah senyum. Tabu bagi kami untuk menuntut hak-hak kami meskipun kami ditindas, maka jangan heran jika kami akan selalu tersenyum dan meminta maaf ketika misalnya kaki kami terinjak, “maaf, kakinya menginjak kaki saya lho”. Ini sama sekali bukan pelajaran munafik, sebab kondisi lahiriyah kami memang selalu kami kondisikan untuk mendidik kondisi batin. Dengan berwajah ramah, senyum yang merekah, mulut yang memulai dengan kata maaf ketika kami tertindas, harapannya, batin kamipun tertuntun untuk seramah wajah kami, meskipun ini seringkali sulit.
Kini, ketika orang tua yang menjadi ikon binangun nagari sudah pergi ke alam baka, suara plung sudah tidak ada lagi. Kamipun kelimpungan untuk mencari suara yang mampu membawa kami untuk menyatu dengan alam sebagaimana dahulu. Sebab suara-suara yang diciptakan oleh orang-orang pandai, memang berasal dari perlawanan dan penundukan terhadap alam, jadi bagaimana kami bisa menjadikannya sebaga wahana untuk menyatu dengan alam.
Kini nuansa senja tidak lagi indah, sebab kami adalah manusia. Pada hakekatnya, manusia tidak akan bisa menikmati keindahan apapun jika ia terlepas dari kebersamaan. Sebab bukan keindahan itu yang menjadikan manusia merasa nikmat, tapi kebersamaan. Sebab kebersamaan merupakan faktor utama manusia bisa disebut sebagai manusia dan bukan disebut dengan robot. Senja kini, meskipun mungkin masih sama dengan senja dahulu, tapi kami tidak bisa menikmatinya sebab kebersamaan tidak lagi bersama senja. Lantas ke mana kami akan mencari keindahan jika kebersamaan telah tiada.
Kini, hidup harus dengan gaya, sebab konon, gaya merupakan ruh dari hidup itu sehingga jika hidup tanpa gaya, maka akan sama dengan mati. Oleh karena itu, kini semua yang bisa dilakukan dalam hidup harus dilakukan dengan gaya, ya, gaya hidup. Makan, harus mengikuti gaya, gaya cepat, gaya natural dan gaya apa lagi. Bahkan, beribadahpun harus dengan gaya, gaya hidup beribadah, yang entah kapan lagi akan berubah menjadi gaya hidup tidak beribadah. Sekolah harus memakai gaya, gaya hidup terdidik. Maka, titelpun diperjual belikan layaknya permen karet. Kami bingung, sebab kami terbiasa hidup dengan tanpa gaya, maka kini kami bagaikan orang yang mati, sebab hidup dengan tanpa gaya.
Kini, pola komunikasi bisa dilakukan dengan se-happy-happynya. Mau bicara dengan seorang guru atau pimpinan spiritual di WC pun boleh. Sebab komunikasi telah tercipta hanya dengan melulu mengacu kepentingannya sebagai wahana penyambung informasi, melepaskan tata moral dan tata etika yang membedakan manusia dengan yang lainnya. Katanya yang penting praktis. Kami bingung, harus berkomunikasi dengan siapa, sebab, model komunikasi kami memang telah usang dan tidak diterima oleh orang-orang. Jadi mungkin kami memang harus mengikuti pola komunikasi yang sedang berlaku.
Kini, tata ruang rumah tinggal mengikuti kesenangan pribadi sehingga seringkali menjadi semacam alien di permukaan bumi. Kalau memang tidak suka menerima tamu, cukup bikin rumah tanpa ruang tamu. Dan kalau terpaksa harus menerima tamu, maka terima saja di teras atau di garasi dekat dengan mobil. Semua aktifitas civitas keluarga dipusatkan di ruang masing-masing sehingga perlu mengusung kamar mandi dan mini bar lengkap dengan sofa “leyeh-leyeh” ke dalam kamar tidur yang memiliki teras kecil menghadap view yang indah. Kami jadi bingung sebab teman-teman kami menyarankan untuk menjadikan ruang tamu kami yang luas itu sebagai kamar tidur saja, atau garasi saja, atau kalu tidak memiliki mobil , ya sewakan saja...
Kini, kondisi lahiriyah kami harus mengikuti kondisi batin tapa menghirukan dampak jangka panjang dari orang yang sedang berinteraksi dengan kami. Jika batin kami marah, maka muka harus dimerahkan dengan darah yang tertekan oleh jantung yang berpacu kencang, tak peduli kepada siapa kami berhadapan, apakah anak, keponakan, cucu, suami, istri mertua, apalagi tukang tagih hutang, bah.. peduli setan, setan saja tak pernah mau peduli. Jika batin kami bahagia, maka bibir kami harus tersenyum, tak peduli di mana kami berada, di pasar, di kamar mandi, di mall, sendirian, berdua, bertiga ber-banyak orang dan lain sebagainya. Kami bingung, sebab kini, tiada lagi sarana internal yang dapat kami andalkan untuk mendidik bathin kami.
Kami bingung....tapi kami masih hidup.
Jalan Kopi, 23 Januari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis