Aku, Anu dan Asu

Suatu senja yang indah di atas lembah salah satu gedung besar komplek istana para dewa di kayangan, dewa konflik menikmati secangkir teh manis yang terbuat dari tiga helai daun teh muda yang sudah dijemur dengan kadar air hingga mencapai 2,5 persen diseduh dengan air mendidih pada suhu 100 derajat celcius dengan pemanis dari madu tawon yang bersarang di dahan pohon kapuk randu di tengah hutan belantara yang masih perawan. Sebagai dewa konflik, tugasnya sehari-hari adalah mencatat dan mengarsip semua konflik yang terjadi di muka bumi serta melengkapinya dengan catatan kritis sekaligus komentar-komentar terkait perkembangan pola konflik yang terjadi semenjak dunia ini dihuni oleh makhluk yang bernama manusia. Ia tengah menikmati masa cuti selama beberapa semester ke depan untuk memberi kesempatan kepada para asisten dewa konflik yang berjumlah tak kurang dari tiga belas asisten itu untuk memainkan peran penting dalam intitusi kekonflikan pemerintahan dewa di khayangan.

Menurut catatan arsipnya yang telah ia susun semenjak ia diangkat resmi menjadi dewa konflik tiga ratusan tahun yang lalu, hanya ada tiga hal yang menjadi determinan terjadinya semua konflik di muka bumi, mulai dari konflik sederhana, konflik rumah tangga, konflik politik, regional hingga konflik atas nama para dewa. Ketiga hal itu adalah aku, anu dan asu. Selengkapnya rincian masing-masing dari ketiga hal itu adalah sebagai berikut:

Aku

Keberadaan aku dalam diri manusia telah ada semenjak ia dilahirkan. Hal ini menjadi semakin kuat ketika ia berproses dalam kehidupan sehari-hari. Aku menjadi patokan dari semua tindakan manusia, mulai dari tindakan pribadi, semi pribadi hingga tindakan pribadi yang memanfaatkan orang lain bahkan mengorbankan orang lain. Semua tak lain adalah untuk memuaskan aku yang bersemayam dalam diri manusia. Ketika aku dari seseorang telah berbenturan dengan kepentingan aku manusia lain, maka muncullah berbagai macam konflik yang pada akhirnya hanya akan mempertajam rasa aku di masa depan sejarah manusia yang bersangkutan tersebut. Dinamika aku dalam pribadi manusia mengalami perkembangan mulai dari meng- aku internal hingga meng- aku eksternal.

Aku internal bermula dari kesadaran akan kepemilikan aku terhadap tubuh, jiwa dan pikiran. Keakuan terhadap tubuh menuntut manusia untuk memenuhinya dengan segala cara agar semua yang ada diluar tubuhnya memuaskan aku yang terwakili oleh tubuh. Muncullah keinginan untuk diperhatikan, dihormati, dipuja, disanjung, dicinta tanpa diimbangi dengan hasrat untuk memperhatikan, menghormati, memuja, menyanjung dan menyintai orang lain.

Keakuan terhadap jiwa melahirkan keinginan untuk beribadah, melakukan ritual, dan segala macam hal spiritual yang berangkat dari hasrat memuaskan dan mencapai kebahagiaan jiwa pada kehidupan yang selanjutnya tanpa ada rasa bahwa ibadah, ritual dan segala macam aktifitas spiritual adalah suatu kewajiban yang taken for granted dan tidak bisa dipertanyakan lagi. Akibatnya adalah munculnya tuntutan-tuntutan yang seharusnya tidak layak diperjuangkan seperti “duh dewa, aku sudah melakukan ajaranmu, tapi kenapa engkau tidak memberiku rejeki yang banyak, istri yang cantik dan langsing lagi tinggi serta beraroma wangi? Dimana engkau duhai dewa? Apakah engkau telah mengingkari janjimu sendiri? Menjilat ludahmu sendiri?”.

Ke-aku-an akan pikiran akan melahirkan kesimpulan bahwa orang lain yang tidak sesuai dengan pemikiranku, pemahamanku, dan konsep-konsepku adalah asu yang harus dibinasakan. Hal ini tanpa ada kesadaran bahwa orang lain juga memiliki pemikiran, pemahaman dan kosep-konsep yangkhas dirinya sendiri.

Akumulasi dari ketiga macam keakuan tersebut, lantas muncullah kesadaran lanjutan bahwa kebahagiaan bagi aku adalah jika pihak lain, siapapun dia, manusia-kah, binatang-kah, alam-kah, teman-kah, istri-kah, mertua-kah, asu-kah, dancok-kah, siapapun dia harus berbuat baik sesuai dengan kepentingan aku. Landasan berbuat baik kepada pihak lain adalah jika pihak lain tersebut menguntungkan sang aku, jika tidak? Jangan tanya..

Keakuan eksternal adalah perkembangan selanjutnya dari keakuan internal yang sudah terpupuk dengan baik. Muncullah aku-aku yang lain seperti keluarga-ku, istri-ku, anak-ku, sekolah-ku, almamater-ku, bangsa-ku, agama-ku, uang-ku, perusahaan-ku, selingkuhan-ku, simpanan-ku, gundik-ku dan lain-lain-ku. Maka segala macam usaha akan dikerahkan untuk mendapatkan segala macam kepentingan -ku dari bentuk eksternal ini. Demi keluarga-ku, istri-ku, anak-ku, sekolah-ku, almamater-ku, bangsa-ku, agama-ku, uang-ku, perusahaan-ku, selingkuhan-ku, simpanan-ku, gundik-ku dan lain-lain-ku maka pihak lain harus turut dan ikut dan manut. Jika tidak jangan salahkan aku. Pada perkemangannya, -aku menjadi musuh utama dari persamaan, perdamaian dan harmoni (peace, freedom and humanity, sebuah slogan yang tercetak pada kaos salah seorang penghuni dunia)

Anu

Anu menjadi determinan kedua terjadinya konflik dimuka bumi. Anu berasal dari ketidakmampuan manusia untuk menggiring memori otaknya mengingat sesuatu sehingga otak tidak bisa memerintahkan mulut untuk mengucapkan sesuatu yang dimaksud. Lantas otak berinisiatif untuk memuncukan sebuah kosakata tertentu yang maksudnya masih belum jelaa, sehingga perlu penjelasan kalimat setelahnya. Contonya begini “anu, itu loh, yang bodynya yahud itu” atau “bapak anu, yang suka daun muda itu loh”. Namun semenjak aliran strukturalis terdesak oleh postrukturalis, maka makna anu tidak lagi sebagaimana awalnya. Anu bisa bermakna macam-macam sehingga membuat manusia tak tahan jika harus menahan hasrat konfliknya. Contohnya lagi seperti ini “seorang polisi memegang-megang anu anak gadisnya sehingga ia marah” atau begini “anunya terserang penyakit ganas seba ia suka menganu-anu wanita yang tidak jelas”. Jelas disini anu telah menjadi suatu kosakata yang sensitif. Akibat anak gadisnya di anu oleh seorang pemuda lain desa, maka konflik antar desa bisa terjadi.

Namun hal itu tentu saja setelah berkembangnya aliran postrukturalis yang dengan seenaknya memaknai segala macam kata dengan segala mcam makna yang mengikuti udelnya sendiri.

Asu

Asu adalah sebuah nama yang diberikan oleh dewa perbinatangan untuk seekor binatang yang memiliki perut kecil dan kencing dengan mengangkat satu kaki belakangnya. Awalnya bernama au, sebab nenek moyang asu seringkali berteriak ditengah malam menyenandungkan lagu malam berjudul au. Namun manusia tidak puas dengan penamaan itu. Menurut manusia, yang disenandungkan itu bukan au tapi asu. Konon karena otot-otot tulang rahangnya kuat sebagaimana binatang yang lain, maka pita suaranya menjadi kaku dan tidak elastis. Dampaknya adalah tidak bisa mengucapkan berbagai macam huruf layaknya manusia. Manusia menganalogkan hal tersebut dengan bayi-bayi mereka yang masih belajar berbicara. Bayi-bayi tersebut pada awalnya memang tidak bisa mengucapkan huruf konsonan, sehingga apapun kata yang ingin diucapkan, yang terdengar hanyalah huruf vokal saja. Tentu saja asu juga mengikuti pola ini, mereka ingin mengucapkan “aku asu”, yang terdengar adalah “au au”. Bahkan seringkali hanya u u, u saja yang terdengar dengan akhiran agak tersedak akibat nafas yang terbatas, menjadi uk, uk. Manusia menirunya dengan guk, guk, padahal tiruan ini benar-benar salah total.

Bagaimana asu menjadi determinan konflik dari manusia? Semua juga hanya berasal dari ulah manusia sendiri. Konon beberapa agama yang dianut manusia di muka bumi selalu menganjurkan ummatnya untuk berdzikir, mengingat-ingat keagungan dewa mereka seraya menyebut-nyebut namanya. Misalnya begini, “duhai dewa judi, duhai dewa kenikmatan” dan lain sebagainya. Namun beberapa manusia yang moralnya sudah rusak semenjak dalam kandungan menolak anjuran seperti ini. Mereka menggantinya dengan asu, asu dan seterusnya. Awalnya kata asu hanya menjadi semacam dzikir saja, namun karena penyebutan kata asu tadi berawal dari kesadaran untuk menolak seruan agama, maka setiap kata asu terucap, setiap itu pula aura kebencian dan penolakan muncul dari sang pengucap. Nah tentu saja aura kebencian ini tertangkap oleh sang audien. Mengikuti pola timbal balik, maka aura kebencian akan menimbulkan aura kebencian yang lain dengan kadar yang tak kalah hebatnya. Bertemunya dua energi kebencian akan menjadikan suasana menjadi penuh ketegangan sehingga probabilitas munculnya konflik bisa mencapai 99,90 persen. Maka jangan heran jika seseorang mengucapkan kata asu, lawan bicaranya pasti merah telinga dan mukanya. Akhirnya terjadilah konflik fisik diantara mereka.

Dewa konflik tak pernah membayangkan bahwa hampir semua konflik yang ia cacat semenjak tiga ratus tahun yang lalu itu berawal dari ketiga hal ini. Memusnahkan aku hanya bisa dengan memusnahkan manusianya, memusnahkan anu hanya berakibat manusia tidak bisa berkembang biak sehingga bumi bisa menjadi sunyi sepi, dan memusnahkan asu sangat sulit sebab ia sudah bercokol di otak setiap manusia sehingga manusia berpikir ala asu, nongkrong di lidah sehingga manusia suka menjilat dan lain sebagainya.

Jalan Kopi, Jum’at, 11 Februari 2011

14:10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis