efek cantik

Aku bosan menjadi cantik. Sebab selalu saja setiap tindakan dan perilakuku menjadi perhatian orang-orang. Bukankah itu sangat mengganggu kebebasanku. Belakangan setiap kali aku keluar rumah, selalu saja ada wartawan yang menguntitku untuk mencari berita yang cenderung dan selalu berkait dengan hal yang remeh-temeh itu. Ya mungkin mobilku mogok, anjingku sakit, dan lain sebagainya, pokoknya yang remeh temeh gitu deh. Kenapa yang remeh temeh itu justru sekarang menjadi faktor penghidupan bagi bayak orang. Kata asistenku, majalah yang memuat berita tentang anjingku yang sakit itu laku keras di pasaran sehingga penerbitnya mendapat pesanan untuk cetak ulang. Bayangkan, majalah bulanan dicetak ulang untuk berita yang sama, aneh bin ajaib kan? Tapi itu faktanya lho. Bahkan di daerah Jawa Timur tenyata seorang agen koran yang menjual majalah tersebut kini bisa naik haji sebab majalah tersebut dibeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga biasanya oleh sebuah komunitas yang mengaku sebagi fans beratku. Belum lagi kemarin ada berita bahwa perusahaan majalah tersebuat membutuhkan wartawan dan fotografer baru berikut dengan karyawan di bagian produksi. Bukankah itu berarti telah mengurangi jumlah sarjana yang menganggur sebab syarat untuk masuk pada posisi-posisi tersebuat memang harus sarjana S1. Itu baru majalah, yang lain? acara tv yang memuat berita sama ternyata mendapat rating tertinggi sehingga banyak perusahaan yang ingin beriklan dalam acara tersebut. Dengan banyaknya iklan yang masuk berarti anggaran periklanan menjadi naik. Kenaikan biaya periklanan menurut seorang pakar pemasaran yang baru pulang dari sebuah seminar di Jepang akan menaikkan penjualan. Nah lho, kan bisa kamu bayangkan naiknya penjualan berarti banyak orang yang membeli bukan? Atau jumlah pembelian dari tiap orang yang betabah. Kalau demikian berarti aktifitas ekonomi secara agregat menjadi naik. Bayangkan jika dalam suatu negara terjadi kenaikan aktifitas ekonomi, maka akan terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi yang tentunya bedampak sistemik dengan boomingnya sektor-sektor yang lain. Jika pertumbuhan ekonomi naik, pendapatan pemerintah dari sektor pajak pun seharusnya naik juga. Kalau tidak naik berarti ada penyelwengan di birokrasi yang mengurusi pajak, atau kemungkinan kedua adalah wajib pajak tidak mau membayar pajak yang menjadi bebannya sebab ia tahu bahwa uang pajak hanya digunakan untuk membayar pegawai negeri yang malas kerja tapi banyak tuntutan tersebut. Kembali ke masalah semula, jika pendapatan negara naik, maka dana anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan umum seharusnya juga naik. Sekolah, berobat dan lain sebagainya bisa ditanggung oleh negara. Negara juga bisa memodernisasi alutsista dari besi rongsokan menjadi sebuah senjata modern yang memiliki efek gentar tinggi.

Itu efek dari berita yang ditimbulkan oleh anjingku yang sakit beberapa bulan yang lalu. Belum lagi efek pemberitaan tentang model rambut dan pakaianku. Pernah suatu ketika, karena capek dugem sepanjang malam, maka aku telat bangun. Sialnya hari itu aku ada jadwal ujian akhir suatu mata kuliah yang telah aku tempuh berkali-kali tapi tetap saja gagal, sebab memang dosennya perempuan, coba kalau dosennya laki-laki, pasti semua urusan bisa diselesaikan di luar kelas dan di dalam kamar hotel. Yah, kamu tahu sendiri kan orang cantik selalu dibekali dengan otak yang minim, sebab semua bahan pembuat tubuh lebih dikonsentrasikan untuk memperindah kulit dan tata letak unsur-unsur pembentuk muka sehingga bagian otak menjadi kecil. Nah pada waktu itu aku berangkat ke kampus tanpa mandi dengn rambut yang acak-acakan. Namun aku kembali tersentak kaget bagai tersambar petir disiang bolong sebab model rambut acak-acakan itu kini telah menjadi idola dari semua ABG di negeri ini. Gila tidak? Hampir semua salon kecantikan menawarkan jasa untuk membuat rambut menjadi acak layaknya aku waktu itu. Ingin tahu dampak lainnya? Industri kecantikan menggerakkan dananya untuk melakukan riset menemukan formula terbaik membentuk rambut menjadi acak. Selanjutnya? Anggaran riset yang besar tentunya juga berdampak pada pencarian sumber daya manusia handal yang bisa meng-handle proyek besar-besaran tersebut. Maka mulailah berdatangan para doktor alumni luar negeri yang selama ini bermukim di luar negeri karena gaji di dalam negeri hanya cukup untuk membeli tempe sebulan kata mereka sedikit menghina. Mereka berduyun-duyun pulang kampung untuk memenuhi keperluan laboratorium-laboratorium riset yang berani membayar mahal mereka. Bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang tentu akan merasa nyaman jika bekerja di negeri sendiri, dan kini, mereka menemukan momen untuk pulang kampung. Di sini mereka tidak hanya mengerjakan urusan laboratorium, tapi juga menyempatkan untuk mengajar di perguruan tinggi terdekat. Dampak selanjutnya, sudah tentu out put perguruan tinggi meningkat mutunya.

Bagaimana dengan model pakaianku waktu itu? Ah tentu engkau bisa menebak sendiri ya, aku sudah males bercerita lagi nich...

Mulai saat itu, dua belas tahun yang lalu, aku tidak lagi bosan menjadi cantik. Sebab cantik membawa kemakmuran bagi orang sekitarnya, minimal tidak membuat mata orang yang memandangku menjadi sakit bagai tertusuk duri landak.

Jalan Kopi, Jum’at, 01 April 2011, 09:58

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis