Segala Nikmat

Konon, bapak moyang kami memaknai sebuah perkawinan sebagai sebuah tindakan yang berbau politik dan perjuangan yang layak untuk diperjuangkan dengan pengorbanan nyawa sekalipun. Leluhur kami, Ken Arok, berdaya upaya untuk menikahi Ken Dedes setelah secara sekilas ia melihat sebuah sinar wahyu yang keluar dari balik pakaian bawah Ken Dedes sewaktu ia turun dari kereta. Sinar wahyu tersebut menunjukkan bahwa sang pemilik akan menjadi ibu dari orang-rang besar yang berkuasa di tanah Jawa. Karena itulah Ken Arok tidak ragu untuk mengorbankan nyawanya demi membangun sebuah dinasti penguasa Jawa Dwipa. Leluhur kami selalu berkaca pada kalajengking dimana setiap kali pejantan membuahi sang betina, maka sang jantan akan mati. Itulah mati yang penuh makna, mati dalam membangun sebuah cita-cita besar, mati karena tersengat oleh cinta. Dan tentunya pengorbanan Ken Arok tidak sia-sia, sebab anak turunnya telah berhasil membangun nusantara kedua hingga nusantara ketiga. Ken arok memang dibunuh oleh anaknya sendiri, akan tetapi kita bisa melihat sepak terjang trah rajasa dikemudian hari. Kini, kami sebagai leluhur berdarah murni yang kini tinggal sedikit sekali jumlahnya, selalu mencoba memaknai kembali semangat bapak moyang kami tentang arti pengorbanan dan arti sebuah kematian.

Beberapa waktu yang lalu, aku mulai menginventarisir sejarah pemikiran bapak moyangku terkait pemaknaan sebuah perkawinan. Berawal dari perkawinan sebagai sebuah perjuangan dan pengorbanan yang dirintis oleh Ken Arok, kemudian berlanjut pada perkawinan yang merupakan wahana bertemu dengan Sang Hyang Wenang. Pada masa itu konon bapak moyangku melakukan ritual hubungan suami istri sebagai sebuah ritual untuk menghadap Sang Hyang Pencipta. Dalam setiap gerak dan desah yang dilakukan oleh pasangan suami istri sah, terdapat segala nikmat yang membawa manusia mencapai kematian segala panca indera dan menuju pada kebangkitan indera keenam untuk masuk ke dalam dimensi ruhiah ketuhanan. Oleh karena itu, moyang kami pada masa itu selalu melakukan prosesi hubungan suami istri dengan segala macam ritual yang rumit dan komplek. Pandangan ini bila kita telaah lebih lanjut akan berakar pada konsep kematian dalam kehidupan. Dalam konsep ini, hidup hanyalah sebuah perjalanan mengikuti kehendak Sang Hyang Wenang tanpa ada pertanyaan mengapa dan bagaimana. Inilah hidup dalam kematian atau mati dalam kehidupan. Mematikan kehendak dan keinginan untuk hanyut dalam kehendak dan keinginan Sang Hyang. Namun acapkali kekuatan akal dan pikiran menjadi halangan paling serius untuk mencapai hal ini. Pertanyaan mengapa dan bagaimana selalu saja muncul tatkala nalar pikir manusia aktif. Untuk menggapai pengetahuan akan maksud dan kehendak Sang Hyang Wenang itulah manusia harus melenyapkan sejenak kehendak dan keinginannya, serta mematikan panca indera. Bapak moyang kami menemukan cara terbaik untuk mematikan kehendak dan panca indera itu adalah dengan melakukan hubungan suami isteri secara sah. Maka seringkali diriwayatkan bahwa bapak moyang kami akan mengalami sebuah pencerahan yang membawa pada solusi-solusi cerdas bagi segala permasaahan masyarakatnya justru setelah melakukan ritual tersebut.

Konsep dan pemahaman seperti ini terus berlanjut hingga menjelang masuknya posmodernisme ke nusantara. Konsep ini menjungkirbalikkan apa yang selama ini telah dipahami dengan baik oleh bapak moyang kami. Mereka mendekonstruksi segala macam doktrin dan paham yang kami imani selama ini. Dalam pandangan mereka,hubungan suami istri hanya sebuah aktifitas biasa yang tidak sakral dan penuh dengan kedangkalan. Maka jangan heran jika engkau menyaksikan beberapa rekaman tentang hubungan suami istri diantara meraka selalu dipenuhi dengan hawa kebuasan dan kebinalan yang tentu saja benar-benar dangkal tanpa makna. Semua anggota tubuh diekspos tanpa tedeng aling-aling sehingga hanya merupakan sebuah daging terbalut kulit tanpa makna sama sekali. Mereka melepas makna yang seharusnya menjadi sandaran dari setiap aktifitas manusia sebagai insan berpikir.

Belakangan, konsep pernikahan benar-benar berubah drastis hanya manjadi sebuah wahana untuk mencapai sebuah popularitas duniawi. Hubungan badaniah yang suci dan hanya bisa dilakukan oleh sepasang suami isteri yang sah telah dilepaskan dari kerangka perkawinan. So, anda bisa berhubungan badan dengan siapa saja dan apa saja selama hal itu dilandasi oleh rasa saling suka dan tentu saja tanpa harus melaui sebuah lembaga yang mengikat bernama perkawinan. Karena pelepasan makna yang sedemikian rupa inilah, maka perkawinan bukan lagi hal yang harus dipertahankan oleh pelakunya. Kapan saja mereka bosan, maka tanpa beban apapun mereka bisa berpiah dan kembali lagi meski dalam waktu yang tidak lama.

Nah, engkau tentu bisa membayangkan bukan, bagaimana kesenjangan antara pemaknaan konsep perkawinan yang dipahami oleh bapak moyangku dengan apa yang dipahami oleh anak cucunya kini. Dahulu kala bapak moyangku berani berkorban nyawa untuk menggapai sebuah perkawinan demi kejayaan sebuah keluarga yang ia bangun. Dahulu juga bapak moyangku melakukan ritual hubungan suami isteri sebagai kendaraan untuk berkunjung menemui Sang Hyang Widi di dalam dimensi indera keenam. Akan tetapi kini kami, anak cucunya, melakukan sebuah perkawinan hanya sebagai sebuah wahana untuk menggapai popularitas temporer belaka. Bahkan kami melakukan hubungan seksual hanya untuk menggapai kenikmatan beberapa menit tanpa harus melalui sebuah lembaga yang cenderung mengikat nalar binal kami.

Jalan Kopi, Jum’at 1 April 2011, 09:02

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis