Demokrasi Kita


Secara sederhana, demokrasi dapat kita katakan sebagai suatu pemerintahan yang pro rakyat, sebab memang berasal dari rakyat itu sendiri. Untuk mencapai hal itu, dibentuklah sistem yang menghindari penumpukan kekuasaan pada satu lembaga saja, maka kemudian dikenal istilah trias politika. Selain itu, mekanisme pemilihan juga dibuat sedemikian rupa untuk menghasilkan suatu rezim pemerintahan yang baik.

Secara sederhana pula, kita dapat mengatakan bahwa proses pemilihan rezim, harus melalui mekanisme yang bebas, dimana konstituen dijamin kebebasannya dalam memberikan hak pilih. Kebebasan ini meniscayakan minimal dua hal, yaitu terbukanya akses informasi yang luas terhadap pilihan yang dihadapi dan kemandirian dalam menentukan pilihan.

Dalam dataran konsep, kedua hal tersebut di atas tertuang dalam pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil. Bahkan pelaksanaan pemilu di negara kita belakangan ini juga melibatkan berbagai unsur swasta sukarela yang melakukan pengawasan. Namun mekanisme dan semua perangkat tersebut nampaknya baru sebatas wahana tanpa makna, sebab dua hal minimal yang menjadi tolok ukur dalam pelaksanaan pemilihan yang baik tidak pernah tercapai.

Unsur pertama yakni terbukanya akses informasi yang luas terhadap pilihan yang dihadapi, sama sekali tidak muncul dalam pemilu kita. Lolosnya seorang ekshibionis seks semacam Yahya Zaini sebagai wakil rakyat menegaskan hal ini. Bagaimana mungkin logika kita bisa menerima bahwa rakyat menghendaki dan memilih wakilnya seorang yang cacat moral. Fakta ini membuka mata kita bahwa ada semacam kedok-kedok yang menutupi informasi seputar pilihan masyarakat sehingga menyebabkan ketertipuan publik. Dengan kedok yang demikian sempurna, bisa dipastikan unsur pertama terkait terbukanya akses informasi yang luas tidak akan pernah tercapai dalam sistem demokrasi kita, sehingga hasil dari pemilihan umum kitapun layak dipertanyakan.

Bagian kedua adalah unsur kemandirian dalam menentukan pilihan. Bagaimana mungkin orang yang telah mendapat uang masih memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan? Money politic yang dipraktekkan oleh partai-partai peserta pemilu dalam bentuk yang paling kecilpun (pembagian kaos) sangat mengganggu kemandirian pemilih. Dalam logika sederhana, seorang yang mendapat kaos dari satu partai politik, sangat potensial untuk memilih partai tersebut –jika tidak ada partai lain yang juga membagikan kaos-untuk contoh ekstrim-. Namun, praktik pembagian kaos hingga serangan fajar bukan lagi merupakan hal tabu untuk dilaksanakan.

Beberapa hal diatas menunjukkan bahwa kita memang telah kehilangan makna dari demokrasi itu sendiri. Orientasi kita baru sebatas simbol-simbol dan mekanisme lahiriah pendukung demokrasi, yang dengan itu pula kita merasa bangga telah menjadi sebuah kekuatan demokrasi yang konon layak diperhitungkan di dunia. Sudah semestinya bagi kita untuk menengok kembali esensi dari praktek politik yang kita imani ini. Akankah kita hanya seperti keledai yang membawa tumpukan buku namun tidak memahami isinya? Semua kembali kepada kita.

Di negeri ini, demokrasi hanyalah sebuah gaya hidup yang entah sampai kapan life cycle-nya akan berakhir dan kelak diganti dengan gaya hidup yang lain.

Bogatama, Kamis, 9 September 2010 04:35

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis