ATLANTIS YANG DIRINDUKAN


Membaca Negara kelima buah karya Es Ito membuat kita hanyut dalam sebuah mitos besar yang akhir-akhir ini menggejala di bawah tanah. Sebuah cerita akan keagungan masa lalu dikemas dengan sangat baik oleh Ito dalam sebuah novel yang menggambarkan kemuakan dari kaum muda akan keberlangsungan pemerintahan di Indonesia. Novel ini sangat kaya akan data sejarah dan bahkan potensial untuk menjadi sebuah aliran alternatif dalam sejarah penjang perjalanan bangsa ini. Ito berhasil menggiring pembaca untuk menyadari akan sejarah masa silam nusantara sebagai induk dari generasi-generasi pencipta peradaban awal manusia.

Hancurnya peradaban atlantis di benua lemuria yang terjadi akibat ketusan gunung Krakatau purba menyebabkan sisa-sisa penduduk yang selamat berhijrah menuju barat dan menciptakan peradaban kuno Mahenjo Daro. Disusul kemudian dengan peradaban di seputar sungai Eufrat dan Tigris dan berakhir pada Mesir Kuno. Jalur lintasan peradaban dari India hingga Mesir inilah yang kemudian dijadikan rute penaklukan terbesar sepanjang sejarah manusia oleh Alexander Yang Agung. Alexander membawa misi napak tilas sekaligus kembali keasal-usulnya di Nusantara. Pola pikir demikian akan mendapat kesamaan dengan novel Gajah Mada, dari Majapahit hingga Walisongo.

Membaca Pikiran

Kesamaan alur pikir secara umum antara Negara Kelima dan Gajah Mada, dalam beberapa faktor bisa merupakan suatu kebetulan. Namun bisa juga merupakan sebuah fenomena alam pikir orang Indonesia. Ahimsa-putra dalam beberapa karyanya menyebutkan bahwa kesamaan pola pikir yang ditemukan dalam berbagai mitos dan dongeng seluruh dunia menggambarkan bahwa mitos bisa dijadikan sarana untuk mengungkap konstruksi nalar dari suatu bangsa. Sebab, soerang penulis novel, tidaklah menciptakan karakter dari tokoh dalam novelnya, melainkan karakter tersebut bergerak secara alami mengikuti alam bawah sadar dari penulis. Itu mengapa dalam novel-novel bagus, kita menemukan sebuah realitas yang logis dalam perjalanan tokohnya.

Membaca Negara Kelima seolah mengikuti frame pemikiran alternatif yang selama ini didengungkan oleh cak Nun dalam setiap kesempatan di depan jamaahnya. Hal ini bisa kita pandang sebagai sebuah semangat untuk melawan sistem yang establish dengan menawarkan pendekatan-pendekatan alternatif. Apa yang selama ini hanya sebuah dongeng, bisa jadi merupakan relaitas yang tak terbantahkan, yang sengaja ditiupkan barat untuk tidak dipercayai, sehingga kita benar-benar hilang kesadaran akan masa lalu dan asal-usul kita.

Dalam pandangan lain, hal ini bisa kita artikan sebagai sebuah usaha tanpa kenal lelah untuk mencari dimana asal-usul kita. Kalau Yahudi memiliki asal-usul yang jelas sebagai sebuah bangsa keturunan Israel, lantas Arab adalah keturunan Bani Quraisy,maka Jawa, Bugis dan penduduk nusantara pada umumnya keturunan siapa?

Seberapa penting mangetahui asal-usul.

Asal usul merupakan sesuatu yang urgen dalam sebuah peradaban yang maju. Masyarakat barat selalu mencantumkan nama keluarga di belakang nama mereka, begitu juga dengan bangsa arab. Bahkan dalam Islam, nama orang tua dalam hal ini ayah, merupakan bukti yuridis bahwa seseorang adalah anak sah yang lahir dari suatu perkawinan yang sah pula, sehingga orang yang lahir dari sebuah perzinaan, tidaklah memiliki hak untuk menyandang nama bapaknya di belakang nama aslinya.

Di Indonesia, orang batak selalu memakai nama marga dalam setiap namanya, sebagian orang jawa juga demikian. Tak pelak lagi, asal-usul merupakan sebuah identitas yang sangat penting untuk menegaskan eksistensi sebuah bangsa. Asal-usul juga merupakan sebuah titik awal dari sebuah kebangkitan. Bagaimana sebuah bangsa bisa bangkit, jika ia lupa atau tidak tahu akan posisinya sebelum jatuh? Seorang yang berlari kemudian terjatuh, maka ia akan bangkit lagi lantas melanjutkan berlari. Sesuatu yang aneh, ketika ia bangkit lantas tidur. Sebab kebangkitan meniscayakan kejatuhan yang terjadi sebelum bangkit, sehingga bagaimana seorang bangkit, tergantung bagaimana posisinya sebelum jatuh. Itulah mengapa setiap kali kita merayakan kebangkitan nasional, selalu saja peringatan tersebut hanya menjadi seremoni yang tiada arti, sebab kita memang tidak tahu bagaimana kita sebelum jatuh. Itu terjadi karena memang kita tidak tahu akan asal-usul sendiri.

Nah, apa yng ditulis Ito nampaknya membawa misi untuk menyadarkan kita akan pencarian asal-usul kita yang belum tuntas itu. Kesadaran akan nusantara masih perlu digali lebih dalam lagi. Sayangnya, sumber-sumber yang selama ini dianggap ilmiah adalah temuan-temuan bangsa penjajah yang tidak pernah lepas dari kepentingan penjajah. Itu mungkin sebabnya mengapa kita tidak pernah menemukan kepercayaan diri kita dalam bersosialisasi di likngkungan masyarakat internasional, sebab memang sumber yang kita pakai memang di ciptakan untuk menghilangkan kepercayaan diri tersebut, dan lebih parahnya, sumber tersebut justru semakin mengaburkan asal-usul kita.

Wallahu A’lam.

Gedung Meneng, 18 Mei 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surti, Tedjo dan Pemerintah

Paradigma baru MSDM: wajah baru dari konsep Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu