Negara Kelima: Konsep Hukum Berbudaya
Rendra (Allahu Yarham) dalam sebuah orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Doctor Honoris Causa di UGM pernah menyinggung bahwa penjajahan Belanda yang 350 tahun lamanya itu hanya terjadi di Jawa. Bukan Bali, Sumatera Barat ataupun beberapa wilayah lain. Hal ini disebabkan oleh keunggulan wilayah-wilayah tersebut memiliki sistem hukum yang bersandar pada adat setempat dan dijunjung tinggi oleh semua warganya. Keberadaan hukum berada diatas kekuasaan penyelanggara pemerintahan. Hal ini menegaskan akan kesamaan manusia dihadapan hukum. Oleh sebab itu, rasa kebersamaan yang ada dimasyarakat benar-benar kuat. Sejarah mencatat, Bali tunduk pada pemerintah kolonial setetlah melakukan perang habis-habisan mempertahankan kedaulatannya pada permulaan abad 20. Bandingkan dengan jawa, bangsawan-bangsawan Jawa justru menjadi agen bagi keberlangsungan kolonial.
Hal yang senada dengan Bali terjadi di Sumatera Barat. Kekuatan hukum yang berlaku di Sumatera Barat bila kita telusuri ke belakang ternyata memiliki sejarah perkembangan yang cukup dinamis. Disinilah lagi-lagi Negara Kelima karya Es Ito saya gunakan untuk mendekati permasalahan.
Nenek moyang penduduku asli sumatera barat adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnaen yang melakukan napak tilas menuju asal-muasalnya di kawasan Lemuria. Misi yang dibawa adalah untuk mengembalikan kejayaan masa lampau yang punah akibat letusan krakaatau purba. Dalam upaya untuk membangun kejayaan masa lampau ini, keturunan Iskandar menetap semantara di sumatera barata bagian tengah. Disinilah hukum mengalami dialektika dengan budaya dan kebutuhan yang berkembang. Dari sini pula muncullah puak Piliang dan Chaniago sebagai dua aliran keturunan yang berasal dari dau pemimpin mereka saat itu. Sumatera barat bagian tengah yang saat itu lebih dikenal sebagai Darmasraya merupakan Negara kesejahteraan (welfare state), itu sebabnya negara ini tidak memiliki angkatan bersenjata. Sebagai catatan, keturunan Iskandar Zulkarnaen dalam usahanya untuk mengembaikan kejayaan masa lalu berkembang menjadi dua kekuatan utama. kekuatan pertama adalah kelompok yang menginginkan negara kesejahteraan yang lantas menetap dan mendirikan Darmasraya. Sementara kekuatan kedua adalaah kelompok yang menghendaki sebuah imperium. Kelompok ini melanjutkan perjalanan dan akhirnya mempu mendirikan Sriwijaya, bahkan belakangan ikut serta dalam mengembangkan Majapahit dengan melahirkan Jayanegara (putra Raden Wijaya dengan putri melayu-putri yang memiliki darah Iskandar Zulkarnaen).
Sesuatu yang menarik dari perkembangan dialog antara adat dan hukum dengan kebutuhan adalah ketika Adityawarman dari Majapahit (masih memiliki hubungan darah dengan Jayanegara malalui pihak ibu) kembali ke Darmasraya untuk mengambil haknya. Saat itu, Adityawarman membawa tentara yang cukup banyak, sementara dipihak lain, Darmasrya adalah negara tanpa tentara. Tindakan cerdas diambil oleh duet kepemimpinan di Darmasraya (sesepuh marga piliang dan chaniago) dengan menjadikan Adityawarman menjadi salah satu menantu di keluarga istana dan mendapat hak untuk memerintah dengan syarat menjamin keselamatan penduduk Darmasraya. Selain itu, untuk menghindari turunnya warisan tahta kepada anak Adityawarman melalui pihak ayah, maka diubahlah pola patrilineal menjadi matrilinieal dengan menempatkan saudara laki-laki dari pihak istri sebagai pihak yang mewariskan. Maksud dari perubahan pola ini adalah untuk memastikan bahwa anak dari Adityawarman mewarisi kekuasaan dari pamannya (piliang dan chaniago), bukan dari ayahnya, sehingga kekuasaan Aditywarman pada hakikatnya hanyalah transisi untuk menunggu anaknya dewasa.
Kekuatan hukum dan adat yang sangat mampu berdialog dengan kebutuhan masyarakat ini tidak dimiliki oleh sayap kekuatan keturunan Iskandar Zulkarnaen yang mendukung Majapahit. Fakta memang menunjukkan Majapahit mampu menjadi negara yang besar, namun tidak memiliki ketahanan yang kokoh sehingga hanya mampu bertahan sampai meninggalnya Hayam Wuruk. Sementara Darmasrya tetap kokoh hingga beberapa abad kemudian, Majapahit justru hancur dengan pertikaian internal dan mewariskan negara-negara yang tidak memiliki daya tahan bagus (lihat Demak, Pajang,dan Mataram Islam).
Dalam sudut pandang yang lain, Ito mencoba menjelaskan perbedaan besar antara Majapahit dan Darmasraya. Majapahit merupakan negara yang lebih mengutamakan kesatuan wilayah saja, sementara Darmasraya mencoba lebih dalam lagi dengan menyatukan ide juga. Apa yang terjadi di indonessia nampaknya juga mengarah pada kesatuan wilayah saja, kecuali masa-masa proklamasi hinggga mundurnya Bung Hatta.
Epilog
Novel ini mengajak kita untuk merenung sejenak, sejauh mana pemerintahan kita memberi layanan kepada rakyatnya. Secara sederhana, pemerintah adalah orang-orang yang diberi amanat oleh rakyat untuk melakukan upaya-upaya mensejahterakan rakyat. Tidak ada patron klien di sini. Namun, seringkali justru pemerintah menempatkan rakyat sebagai babu dan pembantu yang layak diperintah seenak sendiri. Novel Ito bisa merupakan teriakan yang ditujukan untuk pemerintah agar membuka mata dan telinganya, meneladani praktik-praktik luhur dari nenek moyang yang sudah dilupakan sebagaimana sejarah melupakan sumatera barat yang pernah menjadi senter pemerintaha darurat RI.
Terakhir, sejarah memang ditulis oleh pemenang. Yang kalah akan selalu menjadi bahan hinaan.
Hal yang senada dengan Bali terjadi di Sumatera Barat. Kekuatan hukum yang berlaku di Sumatera Barat bila kita telusuri ke belakang ternyata memiliki sejarah perkembangan yang cukup dinamis. Disinilah lagi-lagi Negara Kelima karya Es Ito saya gunakan untuk mendekati permasalahan.
Nenek moyang penduduku asli sumatera barat adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnaen yang melakukan napak tilas menuju asal-muasalnya di kawasan Lemuria. Misi yang dibawa adalah untuk mengembalikan kejayaan masa lampau yang punah akibat letusan krakaatau purba. Dalam upaya untuk membangun kejayaan masa lampau ini, keturunan Iskandar menetap semantara di sumatera barata bagian tengah. Disinilah hukum mengalami dialektika dengan budaya dan kebutuhan yang berkembang. Dari sini pula muncullah puak Piliang dan Chaniago sebagai dua aliran keturunan yang berasal dari dau pemimpin mereka saat itu. Sumatera barat bagian tengah yang saat itu lebih dikenal sebagai Darmasraya merupakan Negara kesejahteraan (welfare state), itu sebabnya negara ini tidak memiliki angkatan bersenjata. Sebagai catatan, keturunan Iskandar Zulkarnaen dalam usahanya untuk mengembaikan kejayaan masa lalu berkembang menjadi dua kekuatan utama. kekuatan pertama adalah kelompok yang menginginkan negara kesejahteraan yang lantas menetap dan mendirikan Darmasraya. Sementara kekuatan kedua adalaah kelompok yang menghendaki sebuah imperium. Kelompok ini melanjutkan perjalanan dan akhirnya mempu mendirikan Sriwijaya, bahkan belakangan ikut serta dalam mengembangkan Majapahit dengan melahirkan Jayanegara (putra Raden Wijaya dengan putri melayu-putri yang memiliki darah Iskandar Zulkarnaen).
Sesuatu yang menarik dari perkembangan dialog antara adat dan hukum dengan kebutuhan adalah ketika Adityawarman dari Majapahit (masih memiliki hubungan darah dengan Jayanegara malalui pihak ibu) kembali ke Darmasraya untuk mengambil haknya. Saat itu, Adityawarman membawa tentara yang cukup banyak, sementara dipihak lain, Darmasrya adalah negara tanpa tentara. Tindakan cerdas diambil oleh duet kepemimpinan di Darmasraya (sesepuh marga piliang dan chaniago) dengan menjadikan Adityawarman menjadi salah satu menantu di keluarga istana dan mendapat hak untuk memerintah dengan syarat menjamin keselamatan penduduk Darmasraya. Selain itu, untuk menghindari turunnya warisan tahta kepada anak Adityawarman melalui pihak ayah, maka diubahlah pola patrilineal menjadi matrilinieal dengan menempatkan saudara laki-laki dari pihak istri sebagai pihak yang mewariskan. Maksud dari perubahan pola ini adalah untuk memastikan bahwa anak dari Adityawarman mewarisi kekuasaan dari pamannya (piliang dan chaniago), bukan dari ayahnya, sehingga kekuasaan Aditywarman pada hakikatnya hanyalah transisi untuk menunggu anaknya dewasa.
Kekuatan hukum dan adat yang sangat mampu berdialog dengan kebutuhan masyarakat ini tidak dimiliki oleh sayap kekuatan keturunan Iskandar Zulkarnaen yang mendukung Majapahit. Fakta memang menunjukkan Majapahit mampu menjadi negara yang besar, namun tidak memiliki ketahanan yang kokoh sehingga hanya mampu bertahan sampai meninggalnya Hayam Wuruk. Sementara Darmasrya tetap kokoh hingga beberapa abad kemudian, Majapahit justru hancur dengan pertikaian internal dan mewariskan negara-negara yang tidak memiliki daya tahan bagus (lihat Demak, Pajang,dan Mataram Islam).
Dalam sudut pandang yang lain, Ito mencoba menjelaskan perbedaan besar antara Majapahit dan Darmasraya. Majapahit merupakan negara yang lebih mengutamakan kesatuan wilayah saja, sementara Darmasraya mencoba lebih dalam lagi dengan menyatukan ide juga. Apa yang terjadi di indonessia nampaknya juga mengarah pada kesatuan wilayah saja, kecuali masa-masa proklamasi hinggga mundurnya Bung Hatta.
Epilog
Novel ini mengajak kita untuk merenung sejenak, sejauh mana pemerintahan kita memberi layanan kepada rakyatnya. Secara sederhana, pemerintah adalah orang-orang yang diberi amanat oleh rakyat untuk melakukan upaya-upaya mensejahterakan rakyat. Tidak ada patron klien di sini. Namun, seringkali justru pemerintah menempatkan rakyat sebagai babu dan pembantu yang layak diperintah seenak sendiri. Novel Ito bisa merupakan teriakan yang ditujukan untuk pemerintah agar membuka mata dan telinganya, meneladani praktik-praktik luhur dari nenek moyang yang sudah dilupakan sebagaimana sejarah melupakan sumatera barat yang pernah menjadi senter pemerintaha darurat RI.
Terakhir, sejarah memang ditulis oleh pemenang. Yang kalah akan selalu menjadi bahan hinaan.
Gedung Meneng, 20 Mei 2010
Komentar
Posting Komentar