Keselarasan antara lahir dan bathin sebagai pembuka kekosongan

Pada awalnya, ketertarikan saya untuk menonton film Hero adalah dipakainya Jet Lee sebagai bintang dalam film ini. Namun setelah melihat kisah dan perjalanan sang hero, saya sama sekali tidak bisa menikmatinya. Ada sih pertarungan yang cukup menarik sebagaimana dalam film-film laga lainnya, dan jujur, itu adalah salah satu faktor penarik dari saya dan generasi saya yang memang sejak kecil tumbuh pada zaman berkembangnya action dalam karya sastra dan film (tengok saja wiro sableng, kho ping hoo, gobang, barry prima, suzanna dkk). Bagi saya saat itu (2008-an), Hero hanya merupakan gabungan gambar menarik namun tidak saling terkait satu sama lain. Itu sebabnya saya tidak tertarik untuk menonton Hero II, meskipun ada Jet Lee di sana.

Namun baru kemarin saya mendapat suatu gambaran besar dari film ini. Artikel Nirwan Ahmad Arsuka (2003) tentang film ini membuat saya tersentak kaget. Film ini hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar paham akan sejarah China yang dijadikan latar dalam kisahnya. Nirwan sangat detil dalam menjelaskan rangkaian gambar dalam film ini. Bahkan katanya, film ini merupakan tonggak sejarah yang akan mengubah masa lalu dan masa depan film, sebab, masih kata Nirwan, film ini memadukan berbagai wahana seni rupa untuk menyapaikan pesannya. Pantas saja saya tidak mampu memahaminya. Berbagai dialog digantikan oleh ekspresi wajah maupun gambar-gambar yang hanya mampu dipahami oleh orang yang sudah peka dengan seni rupa.
Satu hal yang menarik, dan barangkali ini juga terjadi di berbagai kisah silat (Twin sekedar contoh), bahwa titik pencapaian tertinggi jagoan silat adalah kehampaan. Dalam literasi sufistik mungkin ini identik dengan maqom fana. Suatu derajat spiritual yang memandang diri sendiri sebagai suatu yang tiada. Dalam pandangan orang seperti ini, apa yang dilakukan hanyalah sebuah kewajiban sejarah yang tidak ada sangkut pautnya dengan ke”diri”an sang pelaku. Orang semacam ini adalah tipe orang yang telah mampu keluar dari oposisi biner dalam kehidupan. Tidak ada suka maupun duka, baik atau jelek, salah atau benar, hina atau mulia dkk. Yang ada baginya adalah apa yang harus dilakukan sesuai dengan peran dan tanggung jwabnya sebagai sebuah ciptaan yang dititipi amanah untuk menjaga kelangsungan kehidupan di dunia.

Lebih menarik lagi, capaian spiritual ini dicapai ketika gerakan telah sesuai dengan isi hati. Dalam bahasa yang lebih mudah dicerna, maksudnya adalah integrasi antara dunia fisik dengan dunia batin. Batin yang telah didasari oleh kesadaran akan peran dan tanggung jawabnya, menuntun anggota badannya untuk melakukan suatu tindakan nyata. Apapun akaibat dari tindakan nyata ini tidak akan pernah menimbulkan kesedihan ataupun kebehagiaan dan segala macam bentuk oposisi biner yang lain, sebab batin hanya mengabdi pada yang “ada” tanpa pamrih apapun. Itulah kekosongan..
Thank’s to om Nirwan atas artikel yang mencerahkannya.
Gedung Meneng, 18 Mei 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surti, Tedjo dan Pemerintah

Paradigma baru MSDM: wajah baru dari konsep Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu