350 vs 3,5 Sebuah catatan mencari jejak nusantara di total football

Apa yang kita saksikan live semalam adalah pertandingan antara dua negara penjajah kita, Belanda dan Jepang. Belanda yang memiliki pengalaman 350 tahun mengangkangi nusantara sudah barang tentu memiliki keunggulan pengalaman dari Jepang yang hanya 3,5 tahun saja. Namun apakah ini ada hubungannya dengan sepakbola? Sudah tentu jawabannya tidak. Tulisan ini hanya sekedar mengajak kita untuk melihat apapun juga yang nampaknya tidak terbersit di benak kita.
Selama 350 tahun lamanya menduduki Indonesia, banyak hal yang diperoleh Belanda, mulai dari ekonomi yang menurut banyak pihak, Belanda hanyalah gabus kecil yang mengapung di atas keringat dan darah rakyat Indonesia, hingga ke ilmu pengetahuan. Indonesia bak sebuah laboratorium terpadu yang menjadi kawah candradimuka ilmuwan Belanda. Di bidang antropologi, kita mengenal Snouck H, yang terkenal dapat menaklukkan Aceh dengan baik setelah ia mendalami islam –agama mayoritas rakyat Aceh-. Ada juga Wallace, yang membagi wilayah Indonesia berdasar pada anatomi makhluk hidup penghuninya. Diantara sekian banyak sarjana “didikan” nusantara tersebut, satu hal yang dimiliki Belanda adalah pusat kajian keislaman dan kebudayaan terkemuka didunia yaitu Leiden University. Hingga saat ini, banyak pemerhati keislaman kita yang melanjutkan studinya ke universitas ini. Padahal Leiden muncul dan “mengapung” di atas laboratorium nusantara.
Dengan sepak terjang seperti itu, saya jadi curiga, jangan-jangan total football satu-satunya didunia yang dimiliki Belanda (meskipun pernah dibawa ke Rusia oleh Gus Hiddink) juga berasal dari laboratorium nusantara. Sebab memang ada ciri khas nusantara yang ada disitu, yaitu hilangnya sekat dan kunci bagi para pemain yang menjadi ciri pola permainan non-total football (baca konvensional). Hilangya sekat ini adalah wujud dari ketidaksukaan pada peraturan yang baku dan mengikat. Bukankah itu khas nusantara, yang pada akhirnya juga membuat penerapan demokrasi di nusantara menjadi mandul dan penuh kamuflase serta manipulasi. Secara umum, kondisi geografis negara-negara empat musim sangat mendukung terciptanya peraturan-peraturan yang dipatuhi secara ketat oleh segenap warganya. Hal ini akan lain dengan negara-negara tropis yang cenderung meninggalkan aturan, sebab aturan dan negara hanya dibutuhkan oleh masyarakat yang sudah tertib. Manakala masyarakat sudah tertib dan terjamin ekonominya, maka negara dan peraturan tidak lagi dibutuhkan. Kondisi geografis nusantara yang subur menyebabkan masalah ekonomi bukan lagi menjadi prioritas utama bagi leluhur nusantara, sehingga peraturan menjadi sangat fleksibel. Semangat untuk memosisikan peraturan menjadi sangat fleksibel inilah yang menjadi ruh total football, dimana pemain dapat berinisiatif melakukan pergerakan melewati wilayah normalnya, dan posisinya akan segera ditutup oleh pemain lain. Belanda sangat cerdas dalam menghisap nusantara dalam semua hal, sehingga nusantara menjadi sangat kurus kering.
Semua hal di atas tidak pernah dilakukan oleh Jepang, sehingga ketika harus bertemu dalam laga sepakbolapun mereka KO seperti kita saksikan semalam, anda setuju?

Gedung Meneng, 20 Juni 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis