Ningrat dalam Persimpangan

Sebenarnya, polemik ini sudah muncul beberapa dekade yang lalu, namun nampaknya masih menarik untuk kita bahas sebab bahasan kita kali ini bukan untuk melihat fenomena itu sendiri an sich, akan tetapi mencoba mengungkapnya dalam balutan syair lagu. Kebetulan judul lagunya saya kutip sebagai judul artikel ini, yaitu Ningrat buah karya dari Jamrud.
Mengikuti liriknya, sejak awal kita melihat akan “kekecewaan” seorang muda terhadap sikap dari generasi tua yang seolah tertuduh sebagai penjaga tradisi yang membabi buta dan sewenang-wenang. Secara umum kita bisa mengikuti, bahwa memang logika yang digunakan oleh kedua pihak adalah berbeda. Tapi justru disinilah menariknya fenomena ini. Dalam kosakata peradaban, kita mengenal establish dan “yang lian”. Kedua hal ini bergerak dan diperebutkan oleh dua pihak yang saat ini memegang masing-masing satu hal. Pemegang establish tentu saja terus berupaya bahwa apa yang ia yakini sekarang ini akan terus menjadi sesuatu yang establish, sebalinya pemegang “yang lian” berupaya untuk menjadikan keyakinannya menjadi sesuatu yang establish. Demikian kejadian ini terus berlangsung dalam semua lini kehidupan.
Para ningrat jawa sudah lama merasa gerah akan gerakan perubahan yang dibawa oleh kaum muda. Sementara kaum muda juga berupaya sekuat tenaga supaya kaum ningrat mau memahami mereka sehingga tidak memaksakan kehendak seenak udelnya sendiri.
Polemik ini menjadi teramat indah ketik diangkat menjadi sebuah tema lagu. Bagaimana seorang pemuda merasa sangat muak akan perlakuan calon mertua dan keluarga besarnya yang selalu campur tangan dalam kisah cintanya. Di jawa memang dikenal pola penilaian terhadap seorang calan menantu. Yaitu bobot, bebet dan bibit. Heddy Shri Ahimsa-Putra menerjemahkan bobot sebagai kebangsawanan seseorang, namun ia menambahkan bahwa makna bobot untuk konteks sekarang berarti tingkat pendidikan yang di tempuh seseorang. Sementara bebet adalah mengacu pada kekayaan. Pertimbangan faktor ini lebih kuat pada pihak perempuan, sebab pada umumnya, setelah pernikahan maka pihak perempuan ikut tinggal bersama keluarga laki-laki. Dan yang terakhir adalah bibit yang menunjukkan pada kondisi fisik seseorang. Ini mencakup pada kesehatan maupun kecantikan. Namun dalam proses ini, peran keluarga besar sangat menentukan bagi keputusan pihak perempuan. Inilah yang menjadi sasaran kritik dari lagu ini.

Gedung Meneng, 8 Juni 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis