Kota Tanpa Sastra

Ketika saya dengan khusyuk membaca karya-karya sastra, beberapa teman yang notabene adalah kandidat master berkomentar bahwa saya telah salah ambil jurusan di MM. andaikata hal ini terjadi begitu saja tanpa kita lihat akar permasalahan, sudah barang tentu akan terasa sangat janggal. Bagaimana mungkin seorang kandidat master memiliki pemahaman demikian sempit terhadap karya sastra, yang konon Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa kita boleh saja menjadi sangat ahli dalam berbagai bidang akademik, namun tanpa sastra kita hanya menjadi sebuah robot sahaja. Kita tahu bahwa Pram adalah satu-satunya pujangga nusantara yang mendapat prioritas memperoleh nobel sastra. Sastra bagi Pram adalah sebuah wahana untuk menegaskan jatidiri kita sebagai manusia.
Kembali kepada permasalahan di awal tadi, andaikata saya masih berada di Djogja tentu tidak akan keluar komentar bahwa saya salah jurusan, meskipun seringkali juga saya merasa manajemen kurang pas bagi jiwa saya. Komentar yang keluar dari para kandidat master tersebut dapat kita pahami dalam dua babak pembahasan kali ini
Pertama adalah kecenderungan iklim akademis di Lampung yang melulu pragmatis sekali. Meminjam bahasanya om Nirwan Ahmad Arsuka maka apa yang dipelajari oleh akademisi Lampung sebenarnya bukanlah ilmu pengetahuan melainkan alat penumpuk kapital. Sampai batas ini, maka orientasi utamanya adalah menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Persepsi tentang kemakmuran dan kesejahteraan hanya bersandar pada keberlimpahan ekonomi belaka. Hal yang tidak pernah terjadi di Djogja -paling tidak selama lima tahun saya di sana-.
Kedua, minimnya perhatian atas sastra, filsafat dan seni. Bahkan tidak ada fakultas sastra di propinsi Lampung mungkin juga sangat memberi pengaruh pada kondisi ini. Kalaupun ada sastra dan seni, maka itu hanya diajarkan dalam fakultas Pendidikan dan Keguruan yang sudah barang tentu tidaklah sepeka dan seserius dengan fakultas satra dan seni itu sendiri.
Dua hal di atas ternyata sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan pola tingkah sarjana-sarjana yang dididik dilingkungan akademis Lampung. Terkadang seringkali tidak memiliki ruh dan jiwa, nampaknya…

Gedung Meneng, 9 Juni 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis