Agama: Wahana Memanusiakan Manusia

Dalam banyak hal, sebetulnya manusia seringkali kehilangan kemanusiaannya sama sekali. Kita dapat menyaksikan kebrutalan “binatang” pada saat manusia membantai manusia yang lain dalam berbagai peperangan yang pernah terjadi di dunia ini. Hal yang lebih tersamar juga terjadi disekeliling kita dalam adegan-adegan politik nan busuk dimana mangsa-memangsa dilestarikan, kibul-mengibul dibudayakan dan akhirnya rakyat jualah yang menjadi korban. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, manusia bukan hanya seperti binatang melainkan melebihi ganasnya binatang. Harimau hanya menerkam mangsa ketika lapar, tetapi manusia menerkam manusia dalam keadaan lapar atau kenyang. Harimau tidak pernah memakan anaknya, tapi manusia justru doyan memangsa darah daging sendiri. Sampai disini, manusia telah hilang kemanusiannya.
Dalam kondisi ini, agama datang untuk mengembalikan manusia pada dasar fitrah kemanusiaannya. Agama mengajarkan manusia bagaimana bersikap dihadapan tuhannya, ditengah-tengah sesamanya serta menghadapi alam semesta.
Dihadapan penciptanya, manusia hanyalah sebuah wayang yang bergerak dan bertindak sesuai dengan peran yang diamanahkan oleh sang dalang. Orang yang paling bahagia pada posisi ini adalah orang yang memainkan perannya dengan baik tanpa ada kecemburuan akan peran pihak lain. Bahkan ia tidak memiliki rasa benci terhadap pihak yang menyakitinya, sebab ia sadar bahwa yang dilakukan oleh pihak lain tersebut hanyalah mengikuti agenda besar dari sang dalang. Orang dalam posisi ini bergerak tanpa ada rasa mengeluh, mengharap dan menyesal. Ia telah suwung dari segala sesuatu yang berbau ego. Hidupnya hanyalah mengikuti pesan-pesan yang disampaikan oleh sang dalang melalui kode-kode rahasia yang seringkali tertutup oleh indahnya pesona dunia.
Disisi sesamanya, manusia adalah sebuah keluarga yang dilahirkan oleh bapak dan ibu yang sama. Kesadaran yang demikian seringkali tertutup oleh perbedaan identitas sementara. Perbedaan ras pernah menjadi sumber malapetaka besar bagi kemanusiaan pada saat perang dunia kedua. Perbedaan keyakinan menjadi sumber malapetaka yang tak kalah besar pada saat perang salib. Dan perbedaan partai politik menjadi sebab pembantaian massal pada paruh kedua dekade 60-an di Indonesia. Sekat-sekat yang menjadi titik pembeda antar manusia ini kini telah semakin meneguhkan hegemoninya. Agama yang merupakan wahana untuk mengembalikan manusia kepada fitrah kemanusiaannya justru telah menjadi salah satu sekat terkuat hingga saat ini. Sadarkah kita bahwa sebenarnya nilai kemanusiaan justru lebih tinggi nilai urgensinya dibanding dengan sekat-sekat tersebut? Namun berapa orang yang memiliki kesadaran ini.
Dihadapan alam semesta, agama mengajarkan bahwa manusia adalah sang khalifah atau kepanjangan tangan tuhan dalam mengelola dunia. Namun apakah benar manusia telah berhasil mengemban tugas mulia nan berat ini? Nampaknya justru sebaliknya, peran manusia tak lebih dan tak kurang adalah menyiksa alam dengan menghancurkan kemurniannya. Teknologi eksternal yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan saat ini lebih mengarah pada perusakan alam. Teknologi internal yang lebih ramah dan bersahabat dituduh sebagai teknologi yang tidak logis dan realistis. Akibat kampanye ini, para pelaku dan penganut teknologi internal disingkirkan dan dicap gila oleh masyarakat. Lantas peradaban macam apakah yang ditawarkan?

Epilog

Ketika tiga peran manusia diatas sama sekali tidak ada yang beres, lantas bagaimana masa depan peradaban kemanusiaan? Sudah selayaknya bila kita kembali kepada semangat kemanusiaan dan menghilangkan sekat-sekat yang mengebirinya. Agama yang semula ditujukan untuk mengembalikan fitrah kemanusiaan harus kita tempatkan pada posisi idealnya. Nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai-nilai paling tinggi yang harus dhormati oleh semua pihak dan dijadikan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan agenda peradaban manusia ke depan.

Bogatama, 15 Juni 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis