Humanisme yang Terkoyak

Minimal ada dua hal yang mengemuka dalam cerpen perjalanan karya Finsa E Saputra Kompas Minggu ini. Kedua-duanya merupakan simpul dari matinya humanisme. Humanisme boleh dikata mati akibat hilangnya makna yang digerogoti pragmatisme kapitalis dan juga oleh fanatisme sektarian.
Nuansa pertama adalah hilangnya kedalaman dalam pola pikir masyarakat. Semangat pragmatisme yang mengukur segalanya dengan materi telah membuat seorang sarjana kebudayaan menjadi penggangguran yang tak berharga. Ia terasing dalam masyarakatnya yang memuja materi nan praktis. Pekerjaan kebudayaan bukanlah suatu yang menarik karena memang bisa dikatakan tidak mengandung nilai materi yang luar biasa. Fenomena ini menjadi sebuah fokus perhatian Yasraf Amir Piliang, seorang pemikir kebudayaan Indonesia dalam bukunya hipersemiotika. Dengan kondisi masyarakat yang sedemikian rupa, nampaknya sulit untuk mengajak mereka berfikir jauh kedepan dan mendalam. Kondisi ini merupakan suatu bencana bagi kemanusiaan. Jargon cogito ergo sum yang menjadi momentum meledaknya berbagai karya luar biasa dalam berbagai lini kehidupan tidak akan lagi muncul.
Sementara nuansa kedua adalah fanatisme sektarian yang muncul dari pendewaaan terhadap pemahaman sektoral. Setiap pihak yang tidak sesuai dengan paham tersebut akan dianggap sebagai iblis yang harus dihancurkan tanpa peduli apa dampaknya. Pemahaman seperti ini diperkuat lagi dengan mengklaim bahwa apa yag dilakukan adalah sebuah tugas suci yang harus dilakukan dan merupakan dosa besar bila ditinggalkan. Sonya, seorang istri yang cukup memahami keadaan suami dan terpaksa melakukan pekerjaan malam sebagai seorang pelayan dalam klub malam karena desakan ekonomi keluarga, harus menanggung gegar otak dan berkurang kemampuan matanya akibat tempat kerjanya di serang oleh segerombolan orang berjubah putih yang selalu meneriakkan kata-kata tuhan dalam aksinya.
Dua penggal nuansa yang diangkat dalam cerpen ini setidaknya mengingatkan kita untuk mempertanyakan kembali peradaban apa yang kita jalani saat ini. Pragmatisme materi dan fanatisme sectarian telah bersenyawa dalam nadi masyarakat membentuk suatu kekuatan yang bisa mengarahkan bangsa ini ke jurang perpecahan. Pragmatisme mengabaikan pemikiran yang mendalam sehingga corak pemikiran kebudayaan tidak mendapat ruang yang subur di dalamnya. Akibat jangka panjangnya adalah hancurnya perisai kebudayaan. Perisai kebudayaan yang hancur akan membuat masyarakat menjadi sebuah massa tanpa pegangan. Kondisi ini sangat berbahaya, karena rawan dengan manipulasi politisi dan intervensi berbagai kekuatan nasional maupun internasional dengan muatan keuntungan jangka pendek.

Jalan Kopi, 2 Agustus 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis