Masafah Qoshr


Sebagai suatu bentuk rukhsoh (keringanan) bagi orang yang melakukan perjalanan jarak jauh, maka syariat memperbolehkan mereka utuk melakukan qoshr (meringkas) sholat-sholat yang memiliki jumlah rakaat empat. Dalam pembahasan ushul fikh, hikmah dari pemberlakuan keringanan ini adalah untuk mengurangi beban orang yang bersangkutan. Namun, hikmah yang demikian bukanlah sesuatu yang reliabel, sehingga diperlukan suatu tolok ukur pasti untuk menentukan kapan seseorang mendapatkan hak untuk melakukan qoshr sholat. Melalui suatu pembahasan yang panjang, akhirnya dipilihlah “perjalanan” sebagai tolok ukur tersebut. Sehingga dapat diambil suatu aturan barang siapa yang melakukan perjalanan dalam batas tertentu, maka ia mendapat keringanan qoshr sholat.

Persoalan akan muncul kembali ketika kita memperhatikan indikator “perjalanan” ini. Apakah yang dimaksud adalah jarak tempuh perjalanan sebagaimana kita praktekkan selama ini atau waktu tempuh. Sebab, dengan perkembangan moda transportasi dewasa ini, maka jarak tempuh bukan lagi menjadi sebuah indikator yang reliabel. Seorang yang melakukan perjalanan dengan moda suatu transportasi akan memiliki tingkat beban yang berbeda dengan orang yang menggunakan moda transportasi lain dalam jarak yang sama. Artinya, sudah semestinya jika kita mengkaji ulang tingkat reliabilitas jarak tempuh sebagai sebuah indikator boleh tidaknya melakukan qoshr sholat.

Nampaknya, saat ini yang lebih reliabel sebagai indikator adalah waktu tempuh, sehingga ada atau tidaknya keringanan dalam melakukan kegiatan qoshr sholat, seharusnya diletakkan pada berapa waktu yang diperlukan seseorang dalam menempuh suatu perjalanan. Dengan meletakkan waktu tempuh sebagai indikator, maka minimal perbedaan beban yang diterima oleh orang yang melakukan perjalanan dalam waktu yang sama akan semakin tipis, apapun moda transportasi yang digunakan.

Jalan Kopi, Jum’at 27 Agustus 2010 10:46

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis