Mau’idzoh Mbah Dukun

Petruk termenung sendirian di kamarnya. Ia membolak balik surat dari departemen persawahan yang dia terima dua hari yang lalu melalui seorang tukang pos langganannya. Langganan sebab Petruk seringkali mengirim surat lamaran kerja ke beberapa departemen di Amarta melalui orang itu. Dan kali ini adalah yang ke seratus dua puluh satu ia berhubungan dengan tukang pos itu baik masalah mengirim atau menerima surat dari luar. Di atas lemari yang sudah usang, dua buah map berwarna merah dan hijau tampak seperti ban sepeda milik pak guru Bagong yang mau meletus akibat tak kuat menahan beban. Map merah adalah map yang berisi surat masuk. Di dalamnya terdapat ratusan surat dari berbagai instansi yang menolak lamaran kerjanya. Sementara map hijau berisi surat keluar yang berisi ratusan juga arsip surat lamaran dan CV yang pernah dikirim Petruk ke berbagai instansi.
Secara umum, surat-surat masuk itu selalu mengatakan bahwa instansi yang bersangkutan sedang tidak membutuhkan tenaga kerja baru, namun Petruk yakin seyakin-yakinnya bahwa bukan itu alasan yang sebenarnya, sebab beberapa waktu lalu tetangganya yang memiliki kenalan seorang pejabat di kecamatan telah diangkat menjadi tenaga kerja tetap di instansi yang pernah mengiriminya surat balasan tidak membutuhkan tenaga kerja. Memang susah jika tidak memiliki koneksi dengan pejabat terkait, kata Petruk dalam hati sehingga tidak terdengar oleh seekor nyamuk yang hinggap di hidungnya yang mancung tanpa operasi itu.
Beberapa saat ia teringat akan nasehat Gareng, bahwa ia sebaiknya meminta nasehat kepada seorang paranormal yang tinggal di puncak sebuah bukit gundul. Aku tak mau berurusan dengan paranormal jawab Petruk waktu itu. Namun sepertinya saat ini ia kehilangan idealismenya. Percaya dukun itu musyrik kata malaikat yang nongkrong di pundak kanan Petruk. Alaah, itu teori lama, sekarang sudah nggak jamannya mengggunakan teori lama untuk membedah kasus dan menemukan solusinya. Lihat Marxisme, Leninisme, Stalinisme, Soekarnoisme, Soehartoisme, dan isme-isme lain, semuanya sudah menjadi sejarah sebagai teori yang gagal, kamu harus kreatif dengan ide-ide baru. Hal-hal yang dulu dipandang tidak mungkin, bisa menjadi mungkin jika dilakukan dengan baik dan profesional. Kalau mau pekerjaan, sekarang ini semua cara harus dilakukan, sudah banyak jalan yang kamu coba tapi tidak ada hasilnya.. sekarang sudah saatnya kamu datang ke dukun yang sakti dan makrifat itu.. kata iblis berbaju merah panjang lebar persis seperti seorang dosen memberi kuliah mahasiswanya sambil tiduran di pundak kirinya. Petruk masih termenung. Apa yang dikatakan iblis itu nampaknya lebih masuk akal dari pada harus jadi seorang idealis yang akan segera mati kelaparan.
Akhirnya pagi itu, Petruk membulatkan tekadnya untuk menghadap dukun sakti yang tinggal di puncak bukit gundul. Tidak mudah jalan menuju puncak itu, jalannya rusak berat karena sudah bertahun-tahun dana perawatannya tidak sampai di sana, tetapi habis di perjalanan. Bukit itu pada awalnya adalah sebuah bukit hijau yang dihuni oleh sebuah komunitas yang cukup ramai. Hingga suatu waktu, datanglah sekelompok orang dengan memakai seragam pamongpraja Amarta yang mengatakan bahwa daerah itu akan dijadikan sebuah perkebunan kelapa sawit yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi karena lebih laku di dunia internasional. Penduduk di sekitar itu diminta untuk pindah. Dan satu-satunya orang yang tidak mau pindah adalah si dukun sakti yang sekarang sudah tua itu. Tidak ada yang berani mengganggunya, sebab kebanyakan pejabat yang menjabat saat ini pernah mencicip jasanya. Proyekpun dijalankan tanpa menghiraukan keberadaan dukun sakti itu, namun ketika pohon-pohon sudah ditebangi untuk kemudian diganti dengan kelapa sawit, perusahaan yang mengelola proyek tersebut dipailitkan di pengadilan sehingga proyek terhenti. Kini tinggallah bukit yang gundul dan gersang dengan satu penunggu, si dukun sakti.
Kalau kamu ingin kaya, maka jadilah seorang alim ulama yang bekerja di kantor keagamaan, kata sang dukun memberi saran kepada Petruk setelah mengheningkan cipta beberapa saat.
Lho, apa hubungannya mbah antara kaya raya dengan alim ulama?
Kamu ini katanya sarjana, masak masalah remeh begitu saja tidak tahu hubungannya? Kamu kuliah ambil jurusan apa?
Saya ekonomi mbah.
Lah, itu kan diajari, bagaimana cara melihat hubungan antar variabel. Ah, dasar kamu ini pemalas, kamu lulus nyogok ya?
Ya meskipun nyogok, tapi saya juga ikut kuliah mbah, tidak yang model beli ijazah itu..
Sama saja bego, nyogok itu, apapun bentuknya, tetapi namanya juga satu, nyogok, kata mbah dukun sambil menghisap rokok kemenyannya.
Ah, itu terserah mbah saja, tapi bener nih, saya harus jadi alim ulama dulu, berarti saya harus kuliah di IAIN dulu mbah? Saya sudah bosan kuliah mbah..dosennya sok tahu
Kamu ini memang sarjana sogokan bener, untuk jadi alim ulama itu tidak perlu sekolah, kamu hanya perlu uang.
Nah terus apa hubungannya mbah?
Wadoh…cangkemku keju ngajarin orang goblok kaya kamu tuh, kupingku gatel-gatel panas mendengar pertanyaan goblok yang keluar dari cangkemmu itu. Sudah dengarkan dan jangan tanya lagi.. untuk bisa jadi ulama, kamu cukup bayar wartawan dan beberapa orang saja. Suruh mereka mengadakan pengajian dan kamu pembicaranya. Masalah bahan pidato, enggak usah bingung, suruh mahasiswa-mahasiswa mata duitan itu untuk bikin pidato yang bagus. Sesudah itu, suruh wartawan meliput acara pengajian itu, jangan lupa suruh mereka menambah namamu dengan kiai haji di depannya. Suruh orang-orang yang kamu bayar itu untuk berebutan mencium tanganmu ketika kamu turun dari mobil, kalau tidak punya mobil ya rental, pokoknya jangan datang naik angkot atau ojek. Bikin acara seperti ini dimana-mana pasti kamu jadi alim ulama kaya di TV-TV itu. Nah gampang kan jadi ulama itu, nggak perlu kuliah atau mondok, yang penting kamu harus sedia uang dulu. Kalau nggak punya uang, ngutang dulu di bank, kalau nggak boleh ya banknya di rampok saja, kalu tidak berani merampok, maling juga bisa, kalau masih tidak berani, pakai saja jasa tuyul, mbah punya banyak koleksi tuyul, asal kamu tidak lupa dengan jasa mbah.
Terakhir, kalau kamu sudah jadi alim ulama, bilang sama menteri kalau kamu pengen jadi pegawai di instansinya. Dengan reputasi yang sudah kamu bangun, kamu akan mudah mendapat pekerjaan. Dan di sinilah endingnya, kamu akan dengan mudah menjadi kaya. Dengan bekerja di sebuah intansi keagamaan, maka kamu bisa korupsi sepuas-puasmu tanpa ada yang curiga, sebab kamu sudah membangun reputasimu sebagai alim ulama dan bekerja di instansi keagamaan, bukankah sebaik-baiknya tempat berlindung adalah di dalam sarang musuh? Nah itulah nasehatku…

Bogatama, Selasa, 17 Agustus 2010 23:07

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis