Tabung Gas dari Kaleng Bekas: Njeblug


Sudah nasibku menjadi orang kaya, sebab memang orang tuaku adalah orang yang kaya raya. Sudah nasib orang tuaku menjadi orang kaya raya sebab kakekku adalah seorang hartawan. Suah nasib kakekku menjadi hartawan sebab nenekku adalah putri tunggal seorang yang memiliki sawah hampir seluas kecamatan ini. Sudah nasib ayah nenekku memiliki sawah seluas kecamatan ini sebab ayah dari ayah nenekku adalah bangsawan. Dan menjadi nasib para bangsawan waktu itu bila memiliki tanah yang luas, karena ia memang dilahirkan untuk itu. Jadi bila dirunut terus, memang nasib menggiringku menjadi orang yang kaya di negeri ini. Bulan ini, mobilku tambah lagi sebab mendapat bonus dari seseran proyek yang dimark up oleh kacungku yang cerdas itu. Ia ku beri beasiswa kuliah lagi di S2 supaya akal tipu-tipunya menjadi berkembang dan ilmiah. Pekan lalu ia diwisuda dengan nilai yang tidak megecewakan, bayangkan IPK-nya 3,99, praktis tinggal 0,01 poin lagi ia mencapai nilai sempurna, suatu capaian yang tidak semua orang bisa meraihnya. Dan tentu saja aku bahagia memiliki kacung yang setia seperti dia.

Sudah menjadi nasib orang kaya bila ia butuh banyak telinga orang lain untuk mendengarkan omongan dan fatwanya. Akupun selalu menerima nasib itu dengan tangan terbuka, bukankah menerima nasib itu lebih mudah dan murah. Mensyukuri apa adanya demikian kata seorang da’i yang kudatangkan dari pulau seberang beberapa tahun yang lalu dalam rangka peringatan tujuh belasan di desa kelahiranku. Mengikuti nasib orang kaya, maka akupun selalu membutuhkan telinga-telinga karyawan dan kacung-kacungku untuk mendengarkan ceramah dan fatwaku. Untuk menghindari suasana yang tidak menyenangkan, maka tahap pertama yang harus kulakukan adalah sosialisasi program bahwa mereka itu diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut, sehingga mereka harus lebih banyak mendengar daripada berbicara, dan itu adalah takdir. Kalian harus selalu mencari hikmah dari segala hal yang ada di lingkungan kalian, misalnya kenapa kalian diciptakan dengan sepasang telinga dan sebuah mulut, kataku dalam kesempatan pertama itu. Namun takdir itu tidak berlaku bagiku, sebab aku menjalani takdir lain, yaitu sebagai orang kaya yang harus lebih banyak berbicara daripada mendengar.

Sudah menjadi nasib manusia bila ia selalu ingin berbuat lebih dari pada saat ini. Akupun demikian sebab aku juga manusia meskipun aku orang kaya. Selama beberapa minggu aku berbicara banyak hal, dan kulihat telinga-telinga karyawan dan kacung-kacungku sudah tidak lagi cukup untuk menampung ide yang sangat banyak dari mulutku. Oleh sebab itu aku berencana untuk menambah jumlah telinga yang mampu menampung ide cerdasku. Akhirnya aku mendirikan sekolah untuk menampung murid sebanyak mungkin sehingga aku sebagai pemilik sekolah bisa menyalurkan hobi atau lebih tepatnya menjalani nasib sebagai orang kaya yaitu banyak berbicara. Hari demi hari, bulan demi bulan akhirnya sampai juga pada titik jenuh dimana telinga murid-murid, guru-guru, karyawan TU, tukang kebun, tukang sampah, dan tukang parkir di sekolahku tidak lagi mampu menampung lagi kata-kataku yang mengalir bagai air bah itu, padahal telinga-telinga lama yaitu milik karyawan dan kacung-kacungku juga masih menerima kata-kataku.

Sudah nasib bila manusia selalu bersyukur, maka ia akan selalu mendapat yang lebih dari yang maha kuasa. Begitu juga aku yang terus bersyukur, sehingga stok kata-kataku masih cukup banyak padahal telinga-telinga yang ada sudah tidak kuat lagi. Minggu ini aku mendirikan majelis taklim yang aku kelola sendiri, dan untuk menarik massa, maka setiap orang yang datang ke majelis taklim akan kuberi kesempatan untuk menikmati fasilitas kredit bebas bunga dengan plafon tak terbatas. Persyaratannya gampang sekali, mereka cukup mendengarkan kata-kataku saja, sebab aku butuh telinga-telinga lagi untuk menambah daya tampung luapan kata-kataku.

Sudah menjadi nasib bahwa segala sesuatu pasti ada batasnya, majelis taklim yang jamaahnya luar biasa besar itupun tidak lagi mampu menampung kata-kataku, dan aku mulai bingung bagaimana menyalurkan lagi kata-kataku, sebab stok telinga-telinga yang tersedia di negeri ini sudah mulai menipis. Akhirnya melalui usulan dari kacungku yang sudah lulus S2, aku berencana untuk mendirikan bank telinga. Dari mana modalnya? Gampang, aku akan listing di bursa sehingga aku akan mendapat pasokan modal telinga yang tak kunjung habisnya. Dan aku juga akan melakukan double listing, triple listing dan seterusnya hingga bank telinga yang kurencanakan ini bisa listing di semua negara di dunia ini, dan satu yang pasti, pasokan telinga yang akan mendengarkan kata-kataku akan semakin bertambah. Bila tingkat kelahiran di dunia ini adalah 10 persen pertahun dan tingkat kematian adalah 4 persen, maka tingkat pertumbuhan pasokan telinga adalah 6 persen. Jumlah ini sepertinya sudah cukup, sebab pertumbuhan perbulannya menjadi 0,5 persen. Akhirnya setelah beberapa persiapan dianggap cukup, aku mulai menjalankan bank telingaku dengan mengangkat kacungku S2 tadi sebagai direktur utama, aku sendiri sebagai komisaris tunggal.

Sudah menjadi nasib bahwa manusia ternyata adalah makhluk yang ceroboh. Di negeriku sendiri, peningkatan pasokan telinga yang diestimasi sebesar 0,5 persen perbulan itu tidak menjadi kenyataan. Sebab ternyata tingkat kematian melonjak tajam beberapa bulan terakhir ini. Usut punya usut, penyebabnya adalah meledaknya kompor gas milik warga yang ternyata tabungnya terbuat dari kaleng bekas yang dirangkai-rangkai. Bayangkan saja, kaleng bekas susu, bekas sarden, biskuit dan makanan kaleng yang lain dirangkai-rangkai menjadi sebuah tabung yang akan memuat gas LPG dengan tekanan tinggi. Orang awam yang tidak lulus TK pun bisa memprediksi bahwa tabung tersebut pasti njeblug. Dan benar, akibat jeblugan tabung gas dari kaleng tersebut, tingkat kematian masyarakat menjadi demikian tinggi, sehingga pertumbuhan penduduk menjadi minus. Pasokan telinga otomatis menjadi berkurang, sialnya, proses listing bank telingaku di bursa luar negeri terhalang isu perlindungan manusia yang dikampenyekan oleh LSM-LSM di luar negeri.

Sudah menjadi nasib manusia bahwa umurnya di batasi, setelah beberapa bulan pasokan telinga turun drastis, maka tekanan kata-kata yang tidak tersalurkan dari mulutku menjadi semakin tinggi hingga pada akhirnya aku tidak bisa lagi menahannya dan mulutkupun njeblug seperti tabung gas dari kaleng bekas yang njeblug-njeblug itu. Tapi aku bersyukur, jeblugan mulutku tidak menimbulkan korban orang lain sehingga aku masih bangga, ternyata jeblugan tabung gas dari kaleng bekas itu masih lebih kejam dari mulutku.

Jalan Kopi, 8 Agustus 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis