Uswah

Di dalam diri rosulullah terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu sekalian.
Tuhan menyapa hambanya dengan menggunaan bahasa hamba tersebut. Sementara hamba hanya memiliki kemampuan terbatas. Jika kita menanyakan bagaimana bentuk tuhan kepada kuda, maka ia akan menggambarkan tuhan dalam bentuk kuda, begitu juga jika kita bertanya kepada sapi, kucing ataupun ayam bahkan juga manusia. Hal ini menunjukkan kecenderungan sekaligus keterbatasan makhluk untuk berorientasi pada diri sendiri. Sehingga, ketika kita berbicara mengenai tauladan yang baik dalam diri rasul, maka kita tidak bisa lepas dari sisi kemanusiaan rasul dan untuk sejenak melepaskan derajat nubuwahnya.
Jika kita ingin memotivasi seekor kuda, maka kita harus tunjukkan padanya kuda lain yang lebih berprestasi. Sebab kuda tidak akan bisa menyontoh manusia atau hewan lain sebagai bentuk teladan. Dengan demikian, menghadirkan uswah dari diri rasul sekali lagi harus dengan sejenak menghindari peranan wahyu (apple to apple). Kita akan lebih bisa menyontoh akhlak rasul jika beliau kita tempatkan dalam posisi kemanusiaannya, sebab kita tidak mungkin bisa menyontoh beliau dalam naungan wahyu karena kita sendiri tidak mendapat wahyu. Kesimpulannya, suatu teladan supaya bisa diikuti oleh kaumnya, harus kita tempatkan pada posisi yang sama dengan kaumnya.
Akan tetapi, pendapat demikian juga tidak lepas dari kelemahan. Konon, karena menempatkan nabi Muhammad sebagai manusia biasa, maka ajarannyapun juga sebanding dengan ajaran para filosof-filosof lain yang tentunya juga menghadapi kemungkinan termakan oleh ganasnya sang waktu. Namun demikian, sebenarnya justru terdapat suatu tantangan yang menarik di sini, yaitu bagaimana umat rasul mampu membuktikan bahwa meskipun rasul telah ditempatkan dalam posisi manusia biasa, ajarannya memang benar-benar ungggulan sehingga kebal terhadap gerogotan sang waktu.

Bogatama, Ahad 15 Agustus 2010 18:52

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis