Teks Sosial (sebuah pengantar)

Tulisan ini merupakan bagian awal dari rangkaian tulisan yang direncanakan dengan fokus melihat fenomena sosial sebagai sebuah objek yang akan dikaji mengikuti kaidah bahasa. Tema tentang ini pernah dimuat dalam blog ini meskipun hanya sebuah pengantar yang jelas mungkin kurang sempurna dan komprehensif berjudul “Teori Konsumsi (Studi Komparatif dengan Pendekatan Semiotika Postmodern)”. Tulisan tersebut pada awalnya adalah salah satu tugas untuk mata kuliah Management Economic di MM Unila.

Kecenderungan menggunakan pendekatan linguistik dalam membedah fenomena sosial sebenarnya bukan merupakan hal baru. Pendekatan ini meruntuhkan fondasi besar humanisme yang diusung oleh Descartes. Secara umum, pendekatan ini mengatakan bahwa manusia dan segala perilakuya adalah bentukan lingkungan sekitarnya yang bekerja layaknya sebuah kata dalam lautan bahasa. Artinya manusia adalah sebuah bagian kecil dari sebuah sistem besar yang bekerja mengikuti logikanya sendiri. Kemandirian (subyektifitas) manusia dalam sistem ini sangat terbatasi. Pada awalnya para kritikus kebudayaan melihat posisi manusia dalam sistem tersebut sebagai sebuah pola yang terstruktur dengan rapi, namun belakangan pola tersebut nampaknya mengalami pergeseran sehingga tidak lagi rapi seperti semula melainkan acak.

Kecenderungan pertama diatas adalah cikal bakal dari strukturalisme. Kerangka berpikir yang dikembangkan adalah mengikuti differensiasi. Mengikuti hal ini, manusia eksis bukanlah akibat dia berpikir sebagaimana dikampanyekan oleh Descartes melainkan karena ia berbeda dengan yang lain. Kata “topi” mengandung arti sebuah alat tutup kepala bukan karena kandungan makna dari huruf-huruf penyusunnya (t, o, p, dan i) melainkan karena keberbedaannya dengan “kopi” misalnya, “roti”, ataupun “roli”. Keberbedaan dengan masing-masing kata memiliki kandungan arti sendiri, menurut paham ini adalah sesuatu yang paten dan terstruktur, sehingga paham ini menolak penggunaan kata untuk selain makna yang dimaksud. Dan inilah strukturalisme, dimana “shalat” merupakan suatu ibadah yang dimulai dengan takbiratul ikhrom dan diakhiri dengan salam dengan tujuan sebagai upaya prefentif atas tindakan munkar dan keji. Jilbab adalah sebuah perangkat untuk menutupi anggota tubuh perempuan bagian atas dan berbagai teks sosial lain yang nantinya akan didekontruksi oleh pandangan baru berikutnya.

Kecenderungan kedua adalah sebuah kritikan atau “penyempurnaan” atas kekurangan yang pertama. Dalam pandangan ini, hubungan antara teks sosial dan maknanya memang masih mengikuti sebuah pola linguistik, akan tetapi tidak merupakan suatu hal yang paten melainkan hubungan yang main-main dan bebas tak terikat. Topi bukan lagi hanya mengandung makna sebuah alat penutup kepala melainkan bisa mengandung arti yang jauh berbeda ketika kita menggunakan frase “angkat topi”. Shalat bukan lagi bermakna sebuah tindakan prefentif bagi tindakan keji dan munkar karena justru bangsa yang paling banyak warganya melakukan ritual shalat justru menjadi pelopor tindakan keji dan munkar (baca : karupsi). Jilbab bukan lagi mengandung arti sebagai wahana untuk menutup anggota badan perempuan bagian atas tetapi merupakan sebuah trend gaya hidup yang tentu saja akan mengalami masa usang ketika trend sudah tidak menghendakinya, layaknya trend gaya hidup yang lain.

Walhasil, dua kecenderungan yang menggunakan pendekatan bahasa dalam menganalisis fenomena sosial sebagaimana teringkas di atas, merupakan sebuah alat yang terbuka dan bisa digunakan dalam berbagai peristiwa. Untuk itulah, mengawali rangkaian kajian tematik seputar kebudayaan, tulisan ini mencoba menjadi wacana pembuka bagi tulisan-tulisan berikutnya.

Bogatama, Ahad 15 Agustus 2010 18:21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis