Menggugat Kepastian

Kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian menjadikan perjalanan menempuh kehidupan menjadi sangat menantang. Banyak usaha dilakukan manusia untuk menghindari bahkan meminimalisasi ketidakpastian dengan formula-formula yang sangat rumit dan detail. Dalam ranah investasi, orang akan menghitung besaran ketidakpastian dengan menggunakan beta, standar deviasi maupun koefisien varian. Semua ditujukan untuk menghindarkan proyek atau kegiatan yang akan dilakukan dari bias yang ditimbulkan oleh ketidakastian yang muncul dalam perjalanan sehingga goal yang cita-citakan dapat diraih dengan sedikit penyimpangan.
Hal yang senada terjadi dengan ketidaksempurnaan yang abadi dalam kehidupan dunia dan penghuninya. Ketidaksempurnaan memacu manusia untuk selalu bergerak menggapai sesuatu yang lebih perfect dari capaian kini. Sehingga, keberadaan ketidaksempurnaan justru menjadi faktor utama bagi terciptanya kehidupan yang dinamis. Hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Ketidakpastian dan ketidaksempurnaan tersebut juga mendorong upaya untuk melihat lebih jeli lagi apa yang ada di balik fenomena yang nampak. Usaha-usaha ini menghasilkan rumusan doktrin yang mengajarkan akan kebijaksanaan dan kearifan dalam kehidupan. Secara umum, doktrin ini mengajarkan manusia untuk lebih cermat dalam mencari dan memandang realitas yang dalam bahasa lain disebut sebagai hakikat. Piliang dalam banyak karyanya tentang kritik kebudayaan dengan sangat lugas mengungkap berbagai kepalsuan yang menjadi suatu kewajaran dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai sektor kehidupan nampaknya memang telah diwarnai oleh kepalsuan, dan lebih gawatnya, kepalsuan tersebut menutup erat-erat jendela realitas.
Ketika upaya-upaya memahami ketidakpastian dan ketidaksempurnaan di atas terjadi secara terpisah, maka muncul dikotomi antara fenomena yang nampak dengan fenomena di balik yang nampak. Orang dengan kecenderungan menggapai fenomena yang nampak akan lebih mengutamakan relasi dan hasil jangka pendek, mengabaikan hal-hal yang tak nampak dan tentu saja tidak berkesinambungan. Sebaliknya, orang dengan kecenderungan fokus pada fenomena di balik fenomena di balik yang nampak akan lebih mengutamakan hal-hal yang jangka panjang dan lebih mengarah pada sesuatu yang kasat mata. Pola kerja kedua pendekatan yang dikotomis ini berbanding terbalik dan merupakan hubungan antitesa.
Akan lebih indah jika dikotom ini dihindari dengan memunculkan sintesa perpaduan dari keduanya. Dan inilah kiranya yang akan menjadi sebuah pendekatan paripurna.
Terlepas dari semua hal di atas, ketidakpastian dan ketidaksempurnaan sebenarnya menciptakan semangat hidup bagi manusia. Jukstaposisi karya Calvin Michel Sidjaja dengan baik mengangkat hal ini dalam sebuah gaya yang cukup orisinil dan menarik. Ashra, seorang tokoh dalam novel ini dikisahkan begitu sangat menderita akibat hidupnya yang terlalu banyak melihat kepastian. Baginya tidak ada ketidakpastian di dunia ini ketika ia memejamkan mata, kecuali dalam bebrapa kasus tertentu.
Apa yang terjadi dalam kehidupan Ashra yang merindukan ketidakpastian seyogyanya membuat kita lebih bersyukur dengan segala macam hal yang tidak pasti. Minimal, ketidakpastian telah membuat manusia masuk pada kondisi kritis sehingga otaknya mampu bekerja dengan lebih keras. Walhasil, segala macam ilmu pengetahuan yang terus mengalami perkembangan tiada henti hingga saat ini adalah hasil dari ketidakpastian dunia yang disikapi secara positif oleh orang-orang cerdik pandai.
Memang banyak hal yang dikisahkan dalam novel ini, namun karena memang belum tamat membaca, maka rasanya cukup tema ini saja yang dibahas saat ini.


Jalan Kopi, 25 Juli 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis