Meredam daya kritis seni jalanan

Pameran Wall Street Arts yang digelar pada 10 Juli hingga 2 Agustus 2010 di galeri Salihara Pasar Minggu Jakarta bisa kita baca sebagai upaya meredam binalitas seni jalanan dengan jalan mengandangkannya ke dalam museum dan galeri-galeri seni, hal mana terjadi dalam sejarah politik Indonesia dengan jalan stabilitas kampus yang mengandangkan mahasiswa dari protes jalanan. Seni jalanan yang awalnya merupakan sebuah langkah pemberontakan atas seni rupa arus utama yang mapan dalam galeri-galeri seni, kini justru masuk ke dalam the establish itu sendiri.
Pertentangan terkait hal ini kalau kita ulur ke belakang akan menemukan referensinya ketika terjadi peralihan dari modern menuju postmodern. Usut punya usut, akarnya adalah masalah bagiamana sesungguhnya seni harus berhubungan dengan realitas sosial yang ada di sekelilingnya. Adorno menganjurkan untuk meneruskan proyek modernitas dengan memisahkan seni dari realitas sosialnya. Seni dalam pandangannya adalah pure seni yang berada dalam menara gading, bukan seni massa yang cenderung mengabdi pada industri. Seni berada pada posisi otonom dan dalam proses penciptaannya sangat memuja orisinalitas. Anjuran Adorno ini belakangan dikenal dengan proyek modernitas tinggi
Sementara dalam dimensi yang berbeda, Benyamin, Berman dan Burger berpendapat bahwa proyek modernitas telah gagal dan kehilangan daya kritisnya ats fenomena sosial yang ada di tengah masyarakat seraya menganjurkan sebuah pandangan baru yang lebih condong pada –bahkan merupakan –postmodern. Pandangan baru yang acap kali disebut avant garde ini merombak tatanan baku modern dalam diskursus seni. Seni dalam kosakata avant garde bisa merupakan sesuatu yang direproduksi, bukan melulu orisinil. Bahkan lebih lanjut, seni harus berdialog dengan dan memiliki makna sosial. Untuk itulah seni tidak harus berada pada menara gading sebagaimana dikampanyekan pendukung modernitas tinggi.

Pendekatan yang keliru?
Seni jalanan sebenarnya nampak ambigu bila kita dekati dengan menggunakan pendekatan di atas. Di satu sisi, seni jalanan menghindari kekuatan pasar yang cenderung bekerja mengikuti logika komoditas dan berpotensi untuk memasung kreatifitas. Semangat ini identik dengan modernitas tinggi yang mengusung seni jauh dari jangkauan industri. Namun di sisi lain, seni jalanan juga menghindari elitisitas museum dan galeri-galeri seni dengan jalan menjadikan ruang publik sebagai tempat berkreasi, menyatu dengan realitas sosial di sekelilingnya. Dan bukankah ini adalah semangat dari avant garde?
Terlepas dari ambiguitas yang ada, yang pasti pameran Wall Street Art telah terbukti menghilangkan makna sosial dari seni jalanan itu sendiri. Ilham Khoiri dalam laporannya di harian Kompas edisi 25 Juli 2010 menyebutkan bahwa pameran ini hanya semacam permainan visual yang kehilangan gereget terpendamnya.
Lukisan seniman perancis Lazoo berjudul “Alphabet City” yang menyerang fenomena sosial dengan menggambarkan kota yang tertutup oleh semburan iklan kini menjadi sebuah lukisan yang tak memiliki makna sosial sama sekali karena memang telah dilepas dari realitas sosialnya dan disterilkan dalam galeri.

Akhiron
Memisahkan seni rupa dari habitat sosialnya nampaknya sangat berpengaruh pada pemaknaan karya seni itu sendiri. Meskipun seni jalanan telah berhasil membuktikan diri seagai sebuah mata air kreatifitas yang tak pernah habis, sehingga harus mengisi galeri menggantikan seni mapan yang kehabisan amunisi, namun biaya yang ditanggung juga tidak murah. Seni jalanan harus kehilangan fungsi sosialnya yang tergerus dalam lingkaran galeri dimana logika komoditas telah mensterilkannya.

Jalan Kopi, 25 Juli 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jam Dinding yang Berdetak

Dhoroba Zaidun ‘Amron*

Atheis