Keberanian untuk mengalah
Jawa sangat identik dengan harmoni. Bahkan kelewat ekstrim. Bagaimana tidak, hanya dalam rangka mencapai harmoni, mereka mampu meninggalkan prinsip. Toleransi (tepa selira) merupakan segala-galanya. Mampu memendam segala rasa yang ada dalam jiwa. Termasuk diantaranya keberanian untuk mengalah. Prinsip yang sangat berat kiranya untuk kita terapkan. Bagaimana seseorang berani untuk mengalah, menanggalkan prinsipnya hanya untuk melahirkan sebuah harmoni. Beranikah kita? Sebagian besar orang akan mengatakan tidak. Mereka akan berpegang pada prinsip masing-masing, dan akan mengatakan bahwa orang yang sering mengalah sebagai orang yang tidak memiliki prinsip.
Benarkah demikian? Keberanian untuk mengalah bukan berarti meninggalkan prinsip hidup. Akan tetapi merupakan bentuk betapa besar jiwa seseorang. Ia tidak lagi memandang kehidupan sebagai miliknya, yang harus ia pertahankan di atas prinsip hidup yang ia anut. Melainkan , hidup hanya sekedar ngelakoni, di mana prinsip harmoni antar sesama manusia merupakan sesuatu yang paling utama. Inilah mengapa orang jawa tidak memandang apa agama dan partai yang dianut oleh sang tetangga misalnya, selama ia masih tetangga, maka, suka dan dukanya adalah bagian dari kita. Semua yang menjadi kerepotannya adalah bagian dari kita jua…
Harmoni diatas segalanya, karena harmoni memanadang manusia diatas segalanya yang fisik, manusia lebih penting dari sekedar prinsip, agama, partai, dan apapun itu.
Ketika harmoni telah dibuang oleh piciknya prinsip, tibalah kehancuran yang tiada habis-habisnya.
Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah. Bukankah telah banyak contoh di dunia ini???
Tulisan kedua untuk mengenang pertemuan keluarga malam ini, 29 November 2009
Komentar
Posting Komentar