Menyoal Bahasa
Pra wacana
Bahasa hanyalah suatu ungkapan dari manusia untuk menggambarkan segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh indera untuk kemudian digunakan sebagai wahana untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Untuk itulah bahasa tidak bisa digunakan untuk hal-hal yang tidak bisa dicakup nalar manusia. Disinilah kemudian muncul atheisme. Suatau pandangan yang tidak mengakui tuhan bukan karena tidak percaya akan kekuatan ekternal yang mengendalikan sistem jagad raya ini. Melainkan hanya karena bahasa tidak bisa menjangkau tuhan, sehingga lebih baik tidak ada tuhan daripada meng ”ada” kannya namun justru menarik tuhan untuk turun pada derajat yang lebih rendah: bahasa yang merupakan ciptaan manusia.
Mencoba mBahas
Hal demikian paling tidak pernah di ungkap Gunawan Muhammad (GM). GM mungkin juga lupa atau bahkan sedang meng ”ada” kan sejenis atheisme baru. Suatu sempalan aliran atheisme yang nampaknya kalau kita lihat dari konsepnya –paling tidak dalam pandangan GM- aliran tersebut cukup baik. Bagaimana tidak baik bila hanya untuk menyebut tuhan saja tidak mau hanya karena tidak ingin merendahkan derajat tuhan. Lantas dengan alasan itu ia tidak bertuhan.
GM lupa, bahwa tuhan pun selalu menyapa hambanya dengan bahasa manusia. Apakah kita juga harus malu menyapa atau menyebut tuhan dengan bahasa yang kita kuasai? Kelihatannya tidak harus seperti itu. GM pun juga lupa, bahwa tuhan seringkali membawakan contoh-contoh yang terkadang lucu. Untuk apa tuhan ber ”humor” dengan hambnya? Ya…. Sekedar mengakrabkan diri. Namun tuhan juga sering menyapa dengan bahasa yang menakutkan. Semua itu bukan karena inkonsisten, tapi menampakkan bagaimana seharusnya sikap di tuntun oleh kondisi. Sikap haruslah fleksbibel.
Lantas apa yang salah dari GM dalam pandangannya tentang atheis? Semua harus berangkat dari fakta. Kita tidak bisa membuat suatu konsep yang melayang dari realitas. Tapi kita juga tidak tahu apakah sebenarnya GM hanya berupaya untuk membuat suatu landasan konseptual bagi mereka yang ingin masuk alairan atheis. Sebab, kalau kita telaah lebih lanjut, konsep ini bukan lagi berada pada tataran luar pemahaman keagamaan. Ia sangat esensial. Dalam Islam mungkin sepadan dengan hakikat –dalam hubungannya dengan syrari’at-.
27 oktober 2009
Komentar
Posting Komentar