Egosentris (Menyoal Ego Jilid II)
Prakata
Tak diragukan lagi, hampir semua prestasi yang telah dicapai oleh umat manusia dihasilkan dengan dorongan ego di dalam hatinya. Keinginan untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu memberi sumbangan terhadap peradaban merupakan motivasi yang sangat besar bagi manusia untuk menghasilkan karya-karya yang tak ternilai harganya. Kemajuan demi kemajuan diraih oleh umat manusia untuk mempermudah dan member solusi bagi manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti hewan dan malaikat.
Namun, layaknya pisau bermata dua, ego yang tak mampu dikendalikan justru membuat manusia semakin menderita menjalani kehidupannya di dunia. Manusia yang hakikatnya adalah pemimpin di dunia justru semakin tergantung dengan kemajuan teknologi. Idealnya, teknologi diciptakan untuk mempermudah tugas manusia, akan tetapi seringkali, karena model ketergantungan yang besar dari manusia, teknologi justru menghilangkan kemerdekaan jiwa manusia. Seolah-olah manusia tidak bisa hidup lagi ketika tidak dilengkapi dengan HP –misalnya-,. Semua ini berangkat dari ketidakmampuan untuk mengelola ego didalam hati.
Egosentris adalah sumber potensial dari segala ketidakbahagiaan hidup manusia. Juga merupakan sumber utama pertumpahan darah di muka bumi. Orang tidak lagi menghiraukan kebutuhan orang lain, tetapi sudah masuk kotak-kotak sempit yang sangat picik seperti “aku”, “keluargaku”, ”masyarakatku”, “bangsaku”, “negaraku”, “pahamku”, “agamaku” dan semua yang berbau “aku” tanpa peduli bahwa itu merugikan “aku” yang lain. Dan selama manusia masih berada dalam kotak-kotak tersebut, maka mustahil akan tercipta kemanusiaan di muka bumi. Harimau hanya menerkam mangsa ketika ia lapar, itupun bukan bangsanya sendiri, tapi manusia mampu menerkam bangsanya sendiri dalam kondisi kenyang, bahkan tidak tertutup kemunginan, mangsanya adalah keluarga sendiri. Disinilah terbukti, ego yang tak dikelola dengan baik akan menciptakan manusia yang berwatak binatang.
Telaah filosofis
Ego barawal dari pengetahuan yan mulai dijejalkan kepada manusia semenjak manusia itu lahir ke dunia. Akumulasi pengetahuan-pengalaman yang diperolah manusia itu membentuk semacam kerangka atau jendela baginya dalam melihat fenomena di dunia. Akumulasi tersebut pada tahap selanjutnya akan mengalami pemisahan-pemisahan, dimana manusia akan menyukai segala pengalaman yang enak, dan menghindari yang tidak enak. Sampai pada tahapan ini rasanya semuanya berjalan sangat alami dan tidak janggal. Namun, sebagai akibat dari pemisahan tersebut, mulailah muncul derita , kecewa, khawatir dan semua bentuk ketidaknyamanan manusia. Hal itu disebabkan bahwa semenjak terjadi pemishan-pemisahan pengalaman, terbentuklah ego atau “aku” dalam diri setiap manusia. Dan inilah sumber pijakan bagi manusia untuk menilai baik dan buruknya dunia. Segala hal yang mengutungkan aku (negaraku, agamaku, bangsaku, kelompokku dll) akan dianggap baik, begitu juga sebaliknya, semua yang tidak menguntungkan aku akan dianggap tidak baik. Dan ketika sesuatu yang dianggap tidak baik itu terjadi pada dirinya, maka timbullah kekecewaan
Tataran praktis
Uraian akan kita mulai dari wilayah religi. Dalam tradisi NU, terdapat konsep wasilah, yaitu memberi hadiah bacaan fatihah kepada orang-orang saleh dengan harapan kita mendapat berkah dari bacaan yang kita baca. Analognya, membaca surat al fatihah yang diperuntukkan kepada arang-orang saleh tersebut bak mengisi gelas yang telah penuh, yang tentunya air akan melimpah. Dibalik ritual ini, sebenarnya tertanam “aku” yang kuat. Bagaimana kita melakukan perbuatan baik hanya untuk mengharapkan timbal balik dari kegiatan kita tersebut. Pamrih yang kita harapkan hanya merupakan cerminan dari bergolaknya “ego” di dalam diri. Kenapa berbuat baik harus dilakukan ketika kita mengharap timbal balik yang akan kita terima. Apakah bila tidak ada timbal bailk yang diharapkan, kita lantas tidak melakukan kebaikan? Nampaknya, ego memang sudah ditanamkan dengan baik melalui institusi agama. Lebih parah lagi, NU merupakan lembaga akar ruput yang memiliki massa terbesar di dunia. Hal ini sudah barang tentu membuat wilayah penyebaran ego keakuan sangatlah luas dan mengakar, mengingat NU lebih dikenal sebagai lembaga yang kuat dalam jamaah bukan di jam’iyah.
Selain dalam lembaga agama, mengakarnya ego juga dapat kita lihat dalam tradisi orang-orang kita dalam menanggung derita. Kita seolah tidak merasakan derita yang kita alami ketika kita melihat ada orang lain yang memiliki derita yang sama atau bahkan lebih parah dari kita. Ini mirip sekali dengan sikapa anak kecil yang akan berhenti menangis bila kita memperlihatkan seolah-olah juga mengalami derita yang ia rasakan. Anak kecil yang menangis karena terjatuh akan berhenti menangis ketika kita juga pura-pura terjatuh. Artinya ia tidak akan merasa menderita ketika melihat orang lain juga mengalami penderitaan sepertinya. Keinginan untuk memiliki teman dalam penderitaan adalah pancaran dari ego yang menciptakan iri dalam hati. Iri membuat manusia tidak bisa menerima ketika orang lain mendapat keuntungan yaitu tidak menderita seperti mereka. Iri akan membuat manusia mecari teman dalam penderitaan, bahkan teman itu harus lebih menderita dari dirinya.
Dua contoh diatas menjelaskan bahwa penyebaran ego dalam masyarakat kita adalah melalui lembaga budaya, dan ini sudah barang tentu sangat sulit untuk dihilangkan. Budaya adalah lapisan terdalam pada system peradaban manusia. Perubahan system politik, ekonomi dan sosial tidak akan mampu merombak budaya, tetapi sebaliknya, perubahan budaya akan mampu merubah semua lapisan di atasnya yaitu politik, ekonomi dan sosial. Ini mengapa perubahan budaya yang sudah dilandasi oleh ego pribadi dalam masyarakat sulit di hilangkan. Dampak nyatanya dapat kita lihat dalam semua praktik kemanusiaan di Indonesia. Bagaimana partai dan calon yang kalah dalam pemilu tidak serta merta mengakui kekalahannya, melainkan menyusun kekuatan untuk menggulingkan penguasa. Partai yang kalah tidak serta merta mendukung partai yang menang dengan gentle. Dalam bisnis, kejaidannya tidak jauh berbeda. Persaingan bisnis seringkali terjadi dalam bentuk yang tidak sehat sehingga secara makro sangat merugukan perekonomian bangsa.
Mengelola ego
Mengingat begitu bahayanya ego yang dibiarkan liar, maka sudah selayaknya manusia mengelola ego sehingga energi ego bisa tersalurkan dalam bentuk yang positif. Menghilangkan pengaruh negatif ego memang tidak mungkin sama sekali, namun minimal kita mampu untuk mengurangi dampak negatifnya. Hal ini bisa dilakukan denga cara keluar dari sekat-sekat picik yang tercipta akibat ego yang berinteraksi dengan semua pengetahuan dan pengalaman masa lalu. Menghilangkan pengalaman masa lalu juga tidak dimungkinkan, bahkan sudah selayaknya kita mengambil manfaaat positif dari masa lalu tersebut. Pemisahan pengalaman buruk dan pengalaman baik seyogyanya tidak menjebak kita dalam permainan ego, melainkan justru kita yang mengendalikan ego. Menunggang ego yang sudah terkendali merupakan suatu modal besar untuk menghasilkan daya kreasi yang tidak pernah mati.
17 Februari 2010 (hari ini 12 tahun yang lalu, PPHM menjadi rumahku)
Komentar
Posting Komentar