Transliterasi Budaya


Prolog

Sebuah artikel di harian Kompas beberapa bulan yang lalu mengkritik kelemahan para penerjemah buku di Indonesia yang hanya sekedar mengalih bahasakan dengan mengartikan kata perkata saja. Aktifitas ini membuat hasil penerjemahan kehilangan akan makna intrinsiknya. Sebab antara bahasa Indonesia dengn bahasa asal terdapat beberapa kaidah yang berbeda, sehingga pengungkapan makna dalam bahasa asal tidak serta merta dapat mengungkapkan makna yang dimaksud ketika naskah terebut diterjemah begitu saja. So, dibutuhkan pemahaman akan bahasa asal sekaligus pemahaman bahasa Indonesia yang tidak diragukan lagi.

Fenomena ini bukan hanya terjadi dalam bahasa teks saja, namun juga melanda aktifitas transfer keilmuan di Indonesia. Dalam kasus ini, konsep-konsep asing ditelan begitu saja lantas diterapkan dengan begitu saja juga di Indonesia. Tidak pernah ada analisis akan kesenjangan budaya antara negeri tempat konsep tersebut berasal dengan budaya Indonesia. Inilah yang dimaksud oleh Almaghfurlah Hidayat Nataatmadja sebagai ilmuwan zero quotion. Seorang ilmuwan yang hanya membebek dan mengabaikan prinsip orisinalitas. Peran mereka hanyalah seperti speaker yang mengeraskan suara sang pembicara tanpa ada hasrat untuk kritis.

Ketidakpahaman akan budaya bangsa sendiri atau hanya sekedar kesialauan akan budaya bangsa lain adalah penyebab utama dari fenomena ini. Dampaknya adalah bergesernya budaya bangsa menuju budaya asing dengan proses yang setengah matang sehingga tercipta budaya gado-gado yang jelas tanpa jatidiri dan karakter yang kuat. Masyarakat dengan budaya yang demikian hanya akan menjadi masyarakat objek yang terombang-ambing oleh pusaran trend dunia.

 

Agenda

Kedepan, Indonesia perlu memiliki transliter-transliter budaya yang sudah matang akan budaya sendiri sehingga hasil transliterasi budaya karyanya benar-benar membumi dan aplikatif bagi masyarakat pribumi. Untuk mencapai hal ini, budaya gado-gado yang saat ini sedang kita pegangi harus dikembalikan pada kemurniannya terlebih dahulu. Setelah itu baru kita bisa melangkah lebih jauh untuk melakukan transliterasi budaya. Itupun kalau memang sangat diperlukan, jika tidak dan nampaknya inilah yang diharapkan, maka penggalian akan filosofi lokal adalah langkah terbaik. Perlu diciptakan mesin budaya (meminjam istilah Rendra Allahu yarham) yang cukup kuat untuk mengawal agenda ini. Suatu mesin budaya yang mampu menggerakkan masyarakat lahir dan batin menuju pencerahan dan keadilan.

Dibutuhkan banyak energy untuk merealisasikan agenda ini. Namun hal itu belum seberapa dengan hasil yang akan dicapai. Indonesia bukan lagi menjdi suatu pingiran kebudayaan dunia yang selalu belakangan mengikuti trend dari pusat budaya dunia. Indonesia akan menjai salah satu pusat pengembang biakan peradaban. Inilah yang dialami oleh sriwijaya pada masa lalu ketika menjadi pusat pendidikan agama budha yang terkemuka di dunia. Ini juga yang dialami oleh majapahit sebagai sebuah imperium di asia tenggara, yang menjadikan maritim sebagai suatu alat penyatu. Majapahit sadar akan potensinya di lautan sehingga membangun armada laut yang merupakan salah satu terkuat di dunia pada masanya.

 

Epilog

Apapun yang terjadi saat ini, belumlah terlambat bagi kita untuk menyadari, memahami dan mengubah apa yang mungkin untuk diubah. Semua tentu berangkat dari kemauan kita untuk melakukan perubahan besar sehingga ke depan, kita tidak lagi mengikuti segala perubahan yang terjadi di luar dengan pasif, melainkan kita juga ikut aktif untuk berkontribusi pada perubahan.

 

Valentine’s Day 2010

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surti, Tedjo dan Pemerintah

Menyoal Bahasa