Islam Moderat Sebuah Ketidakmampuan Membaca Diri Sendiri
Sanwacana
Terinspirasi oleh tulisan Ahmad Nadjib Burhani dalam jurnal Ma’arif Institute, saya melihat apa yang dikritikkan Najdib memang ada benarnya. Islam moderat hanya merupakan sebuah penegasian yang sudah barang tentu bukanlah sebuah identitas. Tulisan ini mencoba menjelaskan fenomena ini khususnya yang terjadi dalam NU.
Asal Usul
Islam moderat muncul dan marak ketika perang menghadapi terorisme mulai digaungkan oleh Bush semenjak peristiwa 11 September 2001. Mulai saat itu, organisasi-organisasi massa islam berlomba-lomba untuk mengikuti arus dan mencari jalan aman dengan mengklaim sebagi penganjur aliran moderat. Sampai pada tataran ini, gerakan moderasi khususnya yang terjadi di NU memang hanya merupakan sebuah respon untuk menghindari bentrokan dengan politik luar negeri AS. Namun lebih dari itu semua, hal ini juga menunjukkan bahwa NU sampai saat ini belum mampu untuk membaca diri, sehingga semua gerakan yang dilakukan harus menunggu keadaan dari luar. Apa yang dianjurkan oleh Ahmad Baso dalam NU Studies memang belum bisa termujud.
Memang pada dasarnya kemampuan untuk membaca diri ini berasal dari sebuah kesadaran diri yang tidak tertutup oleh kesilauan terhadap asing. Pada mulanya, NU lebih identik dengan tradisional dan “ahlussunnah wal jama’ah”. Namun sebenarnya stigma ini muncul sebagai respon modern yang dibawa oleh Muhammadiyah. Modernisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan menghancurkan virus TBC oleh NU direspon dengan menjaga dan mengembangkan tradisi. Inipun sebenarnya hanya sebuah negasi, bahwa NU bukanlah Muhammadiyah yang “modern” melainkan sebaliknya, yaitu tradisional. Seiring perkembangan situasi, ketika isu modern dan tradisional telah menghilang dari jagad wacana, lantas muncul berbagai kekerasan yang mengatasnamakan agama yang berpuncak pada tragedi 11 September, maka NU kembali melakukan negasi dengan mengambil isu slogan moderat. Namun apakah memang benar pelajaran-pelajaran yang diberikan di pesantren-pesantren NU adalah moderat? Sebagaimana apakah memang benar pelajaran tersebut juga tradisional?
Merupakan tantangan bagi segenap intelektual NU untuk kebali melakukan pembacaan diri. Apa yang diusulkan Baso untuk melakukan kajian ke-NU-an yang menyeluruh perlu segera mendapat tindak lanjut. Sebab tanpa melakukan hal itu, NU akan tetap menjadi sebuah objek kajian yang akan terus menerus berusaha menjadi ideal sesuai dengan anjuran sang pengkaji.
Membaca Diri
Membaca diri adalah suatu proses untuk melakukan pengenalan terhadap diri sendiri. Memetakan semua kelebihan dan kekurangan untuk kemudian melakukan gerakan sesuai dengan hasil pemetaan tersebut dengan tetap mengacu pada latar belakang orgainsasi ini dilahirkan. Pada mulanya, NU hanyalah merupakan sebuah gerakan untuk “memprotes” tindakan penguasa Arab Saudi yang melakukan “pembersihan” atas situs-situs budaya yang dianggap mengotori kemurnian Islam. Selepas melakukan tugas awal ini, selanjutnya gerakan ini membentuk diri menjadi semacam wahana silaturahmi bagi ulama-ulama yang sealiran di Indonesia.
Melakukan pembacaan bukan berarti mengabaikan segala yang berbau “lian” akan tetapi tetap memegang teguh orisinalitas sang diri. Dengan pembacaan diri yang benar, diharapkan kita tidak lagi menjadi bahan objek yang sangat bergantung pada pembacaan orang lain hanya untuk mengenal diri sendiri. Ya.. perjuangan membangkitkan sang subjeklah yang sedang dilakukan dalam pembacaan diri ini. Wallahu a’lam bissawab.
18 Februari 2010
Komentar
Posting Komentar