Masa depan budaya agraris


Prolog

Kebudayaan adalah seperangkat  wahana yang digunakan oleh manusia untuk mempertahankan eksistensinya di dunia. Ia mencakup semua pranata kehiupan. Indonesia, meskipun telah memulai proses industrialisasi semnjak tahun-tahun awal kemerdekaan, namun budaya agraris masih nampak mencolok hingga saat ini. Jawa, yang selama ini menggenggam skor sebagai pulau terpadat di Indonesia, juga termaju dalam infrastruktur, ternyata masih menampakkan semangat   masyrakat agraris.

Selayang pandang

Budaya agraris menampakkan keperkasaannya ketika harus membantai komunis pada pertengahan tahun 60-an. Dengan menggunakan massa Islam tradisional, pranata agraris melakukan pembantaian massal. Hingga saat inipun misteri kelam bangsa tersebut belum terkuak dengan jelas. Banyak pihak memang yang menumpang dalam peristiwa tersebut. Tak urung AS pun ikut nebeng ambil untung dengan menggeser kuasa politik saat itu dan menggantinya dengan yang sejalan. Di dalam negeri pun tak berbeda kasusnya. NU yang selama itu merasa sangat dirugikan oleh kehadiran komunis di tataran akar rumput, lantas dengan beringas berada dalam barisan terdepan yang melakukan aksi pembantaian.  Militer  tak ketinggalan ikut ambil untung. Keseimbangan kekuatan disekeliling penguasa revolusi yang berisi militer, agama dan komunis, mulai menuju titik imbang baru dimana militer berhasil masuk sebagi kampiun. Militer mulai saat itu hingga tak kurang dari tiga dekade berikutnya menjadi sentral dalam kuasa politik majapahit modern ini. Lain halnya dengan NU yang kemudian di tinggalkan oleh kereta kekuasaan.

Intine

Akankah budaya agraris yang ditandai oleh –salah satunya-  budaya komunal ini masih perkasa dengan hadirnya gejala postmodern di Indonesia? Tantangan budaya agraris sebenarnya saat ini yang paling kuat adalah dari kekuatan “puritanisme agama” –untuk tidak menyebut islam- yang mulai merambah ranah politik. Kasusnya memang tidak jauh beda dengan komunis yang merasuki kehidupan melalui jalur politik. Persinggungan-persinggugan dalan tataran akar rumputpun nampaknya mulai mengikuti pola persinggungan dengan komunis pada 44 tahun yang lalu. Komunis mengusik budaya agraris dengan rencana revolusi agrarianya. Saat ini kelompok puritan agama mengusik budaya agraris dengan perebutan massa dan pusat-pusat  ibadah massa akar rumput. Tentunya kita tidak ingin, konflik semacam ini berakhir sebagaimana berakhirnya komunis pada masa silam. Banyak pihak yang kemungkinan akan masuk mengambil keuntungan dari konflik ini. Kekuatan dibelakang kelompok puritan ini juga bukan main-main. Mereka memiliki dana yang tak kurang banyak untuk sekedar melakukan sebuah revolusi. Disisi lain, AS nampaknya tidak akan bergerak masuk lebih jauh sebagiamana dulu ia ikut campurtangan. Kekuatann AS memang telah memasuki masa senja sebuah peradaban dominan. Sejarah kemungkinan akan mengulang kejayaan kekaisaran china yang telah ada semenjak ribuan tahun sebelum masehi.  China pun tidak akan memiliki kepentingan yang cukup kuat mengingat Negara pendukung kelompok puritan buakanlah negara yang berseberangan dengannya. Akankah budaya agraris memaksa warganya untuk menumpahkan darah saudaranya sendiri? Waktu jua yang akan menjwab.

Manatap masa depan budaya agraris

Masuknya teknologi informasi ke kehidupan masyarakat Indonesia bukan lagi membuat budaya agraris terlempar. Justru ia pun semakin canggih mengikuti trend-trend terbaru. Interaksi antar  masyarakat masih seperti dulu, hanya bedanya sekarang telah ditopang dengan perangkat yang lebih cangih. Inilah salah satu keunggukan budaya agraris, yaitu daya tahannya yang luar biasa kuat. Tahan dalam segala macam keadaan. Terkadang ia juga melunak untuk kemudian mem”bunglon” mengikuti arah angin. Namun tatkala ia tak tahan ditindas, maka ia akan membalas dengan caranya sendiri. Bentuk balasanya tak kurang keji dari yang ia terima.

Kelenturannya dalam mengahadapi segala macam kondisi ini nampaknya berasal dari kekecewaanya terhadap peperangan yang terus terjadi selama wilayah ini di perintah oleh raja-raja. Kelenturan  ini mendapat legitimasi dari seorang pujangga Majapahit, dengan doktrinnya bhinneka tunggal esa. Semenjak doktrin ini di sosialisasikan hingga sekarang, prinsip telah dibuang jauh-jauh hanya demi menciptakan suatu persatuan dan kedamaian. Toleransi yang tanpa prinsip sering kita temui dalam masyarakat. Inilah cikal bakal kelenturan budaya agraris tersebut.

Lantas bagimana dengan prinsip yang telah terbuang tersebut? Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali memegang prinsip. Secara umum, kita sudah harus memasuki masa sintesis. Pada masa tesis, orang sangat kuat memegang prinsip, entah prinsip untuk berkuasa, wanita ataupun yang bermotif harta. Hal ini memicu peperangan-peperangan antar kerajaan, yang kadang-kadang hanya disebabkan hal-hal yang sepele. Antitesisnya adalah hilangnya prinsip karena manusia sangat merindukan kedamaian. Hanya lemahnya, kedamaian tersebut dibangun dengan tidak memegang prinsip. Orang tidak akan peduli apa agama tetangganya, yang ada ia hanyalah tetangga yang harus kita hormati. Jangan heran jika ada pemeluk agama Islam membacakan tahlil bagi tetangganya yang beragama Kristen, karena prinsip memang sudah tidak ada. Nah masa sintesis itulah yng seharusnya kita masuki sekarang. Perdamaian tetap menjadi dambaan semua insan, namun setiap orang harus memiliki prinsip hidup sekaligus menghargai prinsip orang lain. Semoga saja budaya agraris telah mencapai tahap kedewasaan ini. Amiin. Damailah Indonesiaku

 

27 Oktober 2009

 

Komentar

  1. Mantap sob, mungkin kamu butuh dokumentasi seperti acara wedding dan acara lainnya untuk wilayah Bandar Lampung dan sekitarnya, silahkan kunjungi blog kami, jangan lupa komentarnya ....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surti, Tedjo dan Pemerintah

Menyoal Bahasa