Merayakan Kembali Mitos
Dalam kaitannya dengan arsitektur dan seni, mitos memiliki pengaruh yang kuat terhadap bentuk suatu karya. Seni dan arsitektur pra-modern mengikuti aturan bentuk mengikuti mitos. Pola ini mengalami perubahan ketika semangat modern menghinggapi masyarakat menjadi bentuk megikuti fungsi. Semua ini berbarengan dengan disingkirkannya mitos dan tuhan dari kehidupan masyarakat. Pola modern pun tidak bertahan lama, saat ini bentuk bukan lagi mengikuti fungsi, tetapi mengikuti kesenangan-selera. Tidak ada patokan standar dalam selera, semuanya kembali kepada masing-masing inidvidu. Relativisme mulai menghingapi pragmatisme. Dalam pola post-modern ini, mitos kembali digemari. Inilah yang dinamakan romantisme masa lalu yang sebelumnya dikecam habis-habisan.
Namun apakah mitos hanya kembali ke dalam otak masyarakat dalam ranah desain dan karya seni? Seharusnya tidak, sebab semangat zaman selalu menghinggapi semua anasir kebudayaan. Tulisan Sujewo Tedjo di Kompas terkait dengan kembalinya kejayaan nusantara dalam jangka waktu 700 tahunan sekali nampakya menggambarkan ini. Majapahit adalah bentuk kembalinya kejayan nusantara setelah 700 tahun sebelumnya Sriwijaya menorehkan keagungannya. Tapi bagaimana dengan 700 tahun sebelum Sriwijaya? Adakah data yang menunjukkan hal-hal yang mendukung tesis ini? Andaikan memang siklusnya adalah 700 tahunan, dan polanya adalah semakin membesar –Majapahit memiliki kebesaran melebihi Sriwijaya- maka kebangkitan nusantara untuk yang ketiga kalinya ini tentu lebih besar dari Majapahit.
Bagimana penjelasan ilmiah atas tesis Sujewo Tedjo ini bisa kita terima? Bukankah otak kita telah dipenuhi oleh segala macam yang berbau barat? -yang tentu saja tidak bisa menerima hal-hal yang tidak masuk logika-. Setting pemikiranlah yang harus kita lakukan untuk menyambut kejayaan nusantara jilid III ini. Sesuai dengan semangat cogito ergo sum, kita layak mempertanyakaan semua yang kita kenyam dan pelajari selama ini. Indonesia yang kita kenal adalah Indonesia menurut pandangan barat, yang notabenenya tidak mempercayai mitos. Apa yang selama ini kita kenal sebagai mitos dan dongeng, kemungkinannya untuk menjadi sebuah kebenaran adalah tidak mustahil. Kita memandangnya sebagai suatu khayalan karena setting pemikiran kita memang terbentuk untuk itu. Apa ruginya mempercayai ramalan akan kebesaran nusantara yang akan kita temui dalam dua tiga tahun kedepan? Selama kita tidak terlenakan oleh hal itu, sah-sah saja kita ikut menyambut masa itu dengan kepala tegak.
Optimisme akan semua hal diatas memang masih berada di seputar orang-orang “nyeleneh”. Tapi sekali lagi, hal itu bukanlah yang mustahil untuk terjadi. Kebenaran sejati hanya milik tuhan, manusia hanya mencoba dan terus mencoba untuk mencapai hal itu, termasuk akan ramalan hari depan. Apakah suatu yang kebetulan jika nusantara adalah satu dari empat wilayah (China, Jepang dan Brasil) yang memiliki tradisi bela diri yang terstruktur? Bukankah tradisi gerilya juga berasal dari Indonesia? Bukankah ketangguhan mental masyarakat yang luar biasa hanya ada di nusantara? Cak Nun pernah berkata bahwa jika krisis finansial yang berasal dari krisis kredit perumahan di AS terus berlanjut, maka yang akan tersisa di dunia ini hanyalah penduduk nusantara, karena satu-satunya masyarakat yang memiliki ketahanan kuat dalam suasana ketidakpastian hanyalah penduduk yang mendiami bumi nusantara.
30 Oktober 2009
Komentar
Posting Komentar