Kehidupan zonder “aku

Segala bentuk ketamakan dan angan-angan muncul akan kesadaran “aku” dalam diri manusia. “Aku” akan membangkitkan segala sesuatu yang membuat manusia kehilangan fitrahnya. Kesadaran akan “aku” membuat manusia berusaha untuk mencapai kesenangan. Padahal dalam kesenangan selalu ada kepahitan, karena memang keduanya bagai tangan dalam dua telapaknya. Pasangan yang tidak bisa dipishkan sama sekali.

Hidup bukanlah untuk mencari kesenangan dan menghindari kepahitan. Melainkan untuk sesuatau diatas segala bentuk dualisme kesenangan dan kepahitan, keindahan dan keburukan, kejahatan dan kebaikan, kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan kehinaan serta kecintaan dan kebencian.

Bukan pula untuk menurutkan hawa nafsu. Karena nafsu tidak akan pernah terpuaskan selamanya. Ia akan membentuk suatu mata rantai yang tidak akan ada putusnya hingga manusia benar-benar kehilangan  hidupnya. Selain itu, hawa nafsu bukan lah untuk dikekang dan dihilangkan. Karena mustahil  hawa nafsu dapat dihilangkan tanpa menghilangkan nyawa manusia dimana hawa nafsu itu berada. Mengekang hawa nafsu dengan kekerasan hanya akan menimbulkan luapan yang tidak terhingga ketika nafsu menemukan tempat pelampiasannya. Nafsu hanya bisa dikendalikan dengan nafsu itu sendiri. Melalui kesadaran diri, pengenalan diri, pengenalan nafsu, berikut semua akibat-akibatnya.

Hidup juga bukanlah untuk menggantung cita-cita setinggi langit. Karena hal itu justru akan menjadi belenggu dan ikatan yang akan membuat kita merasa sangat tersiksa ketika cita-cita lepas dari genggaman. Serta akan membuat kita mengalami kesenangan yang tiada tara ketika kita mampu menggapainya. Cita-cita akan masa depan hanya akan membuat seseorang tergadaikan akan masa depan yang belum pasti. Suatu keadaan yang membuat kita lepas dari masa kini, suatu yang benar-benar kita hadapi pada detik ini.

Hidup bukanlah harus di penuhi dengan nostalgia masa lalu, yang mebuat kita terlena akan keinginan mengulang keindahan dan menghindari kesedihan masa lalu. Kesedihan akan kembali muncul bila keindahan masa lalu tidak bisa kita wujudkan kembali pada masa kini. Kesedihan juga terjadi ketika kita ternyata tidak bisa menghindari kepahitan masa lalu terulang lagi dalam kehidupan kita masa kini.

Hidup juga bukanlah cinta kasih dimana ada unsur cemburu, pamrih, iri hati, dengki dan hasut. Karena sebenarnya cinta kasih hanya akan muncul dengan hilangnya unsur-unsur tersebut dari hati seseorang. Suatu cinta kasih yang tidak lagi berasal dari “aku”. Tidak ada perasaan telah memberi dan juga tidak ada perasaan telah menerima. Tidak ada rasa memiliki dan juga tidak ada rasa dimiliki. Tidak ada rasa terikat akan segala sesuatu yang mati maupun yang hidup. Itulah cinta kasih.

Kehidupan adalah kehidupan saat ini, detik ini, bukan nanti bukan pula dulu. Kesadaran akan “aku” akan membawa manusia untuk mengenang masa lalu dan mengharapkan masa depan hingga kadang bahkan seringkali menggadaikan perhatiannya atas detik ini. Hal ini akan membuat manusia lupa diri, lupa akan kewajiban yang dipikulnya, lalai akan jati dirinya serta lalai akan ketidak abadiannya. Kekhawatiran muncul akan adanya bayangan masa depan. Sesuatu yang masih belum terjadi hanyalah merupakan rahasia dari sang pencipta, sehingga menghayalkan akan masa depan merupakan suatu kecongkakan yang ada dihati manusia.

Kesadaran akan “aku” yang terjadi pada masa lampau membuat manusia dihinggapi akan harga diri yang sebetulnya merupakan racun bagi hati. Harga diri akan membuat manusia merasa hidupnya sangat terikat untuk mempertahankannya. Bagaikan sydrom pasca power, harga diri sangat berbhaya bagi pengembaraan manusia menuju kesejatian yang hakiki. Kesadaran akan “aku” dalam masa lampau akan membuat  panjangnya angan-angan manusia. Hal ini akan membuat hikangnya kesadaran akan begitu lemah dan fana nya manuisia.

Maka kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan yang tanpa “aku” di dalamnya. Kehidupan yang tanpa ada rasa benci, iba, iri, dengki dan tamak. Kehidupan yang di atas kebahagiaan dan kesengsaraan. Kehidupan yang berada diluar kemiskinan dan kekayaan. Suatu kehidupan yang tidak lagi dibayangi oleh romantisme masa lalu dan cita-cita masa depan. Kehidupan yang “saat ini” adalah kehidupan yang sejati. Kehidupan yang wajar sewajar-wajarnya.

 

Gedung Meneng, 5 Januari 2010 inspired by Bu Kek Siansu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surti, Tedjo dan Pemerintah

Menyoal Bahasa