Diferensiasi


Konsep ini merujuk suatu keadaan dimana suatu objek memiliki makna karena ia memang tidak memiliki suatu makna yang lain. “Topi” menunjukkan suatu alat penutup kepala, bukan arti yang lain dikarenakan memang kalau kalimatnya adalah “kopi” atau “tapi”, maka ia memiliki makna yang lain pula. Konsep ini dikembangkan untuk mendekonstruksi konsep oposisi biner yang dikembangkan oleh kaun sturukturalis. Dalam diferensiasi tidak dikenal istilah baik dan buruk, tinggi dan rendah, moral dan amoral ataupun yang lain. Hingga sampai disinilah konsep ini akhirnya tidak mengenal/mengabaikan moralitass. Ukuran atau standar tidak dikenal lagi. Makna ditetapkan atas perbedaan objek dengan yang lainnya.

Inilah postmodern. Sementara yang dinamakan dengan modern adalah suatu kondisi kemajuan yang terus menerus. Orang dituntut untuk selalu menapak capaian yang lebih bagus dan seterusnya. Standar nilai yang digunakan dalam modern juga mengalami proses menjadi(becoming). Standar ini terbentuk atas pemujaan manusia kepada akal budi (rasio). Disini tidak lagi dikenal romantisme masa lalu. Hal ini disebabkan karena setiap segala sesuatu akan segera usang dan digantikan dengan yang baru dan selalu orisinrl.

Niezche dan Heidegger yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagi bapak posmodern ternyata pada masanya, modern masih juga menampakkan jejaknya. Inilah mengapa, dalam mengkaji modern dan postmodern, kita tidak bisa menganalisa melalui kronologis sejarahnya, sebab terdapat suatu masa dimana modern dan postmodern hidup secara berdampingan

Melalui rasio, modernitas menciptakan suatu kebenaran yang diklaim sebagai sesuatu yang absolut. Tentunya itu melalui dialektika Hegel dan oposisi binernya. Tidak demikian dengan postmodern. Alih-alih mengkultuskan orisinalitas dan keabsolutan, postmodern justru medewakan pluralitas. Mitos pun mendapat tempat kembali setelah dibantai oleh modernitas. Postmodern tidak mengenal kebenaran mutlak. Paham ini ketika bersinggungan dengan penganut agama, muncullah apa yang selama ini kita kenal dengan paham kebenaran semua agama. Termasuk dalam marketing dikenal model segmentasi dan marketing in venus.

Pada masa-masa transisi antara modern menuju postmodern, terdapat beberapa aliran antara lain modernitas tinggi  yang masih mengusung ajaran modern. Paham ini menganggap bahwa proyek moden masih perlu dilanjutkan karena prosesnya tercemari. Aliran lain di pelopori oleh Adorno. Ia menganjurkan untuk kembali kepada konsep dialketika Hegel serta menghindari komodifikasi seni dan kebudayaan. Ia menganjurkan adanya seni tinggi, yaitu seni yang terlepas spenuhnya dari kebudayaan massa. Anjuran berangkat dari tesis Adorno yang melihat bahwa dalam komodifikasi seni, terdapat logika komoditas itu sendiri  yaitu proses up to down. Produsen memaksakan kehendak kepada konsumen. Dan ini sangat bertentangan dengan semangat modern yang ingin membebaskan manusia dari cengkeraman manusia lainnya. Disisi lain terdapat pemikir yang berseberangan dengan anjuran Adorno. Ia, Benjamin, justru menyarankan agar seni bisa turun dari menara gading menyapa sosial. Ia tidak harus orisinil, tapi boleh melalui proses repro. Dan ditengah pertentangan tarik menarik antara Adorno dan Benjamin ini terdapat satu aliran lain yaitu Avant Garde

 

Objektifikasi

Adalah suatu proses interaksi antara subjek dan objek baik berupa internalisasi maupun eksternalisasi.

Dalam masyarakat industri, hubungan subyek dan objek lebih mengarah kepada eksternalisasi. Sebuah subyek berusaha untuk mengeksternalisasi dirinya dalam sebuah objek yang menjadi karyanya. Artinya, ekspresi diri seseorang adalah karya ciptanya. Ini paling tidak menurut Hegel. Lain lagi dengan Mark. Mark memandang eksternalisasi diri manusia modern pada dasarnya adalah pengasingan diri. Sebab, subyek tidak lagi menciptakan karya (baca: obyek) untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sang majikan. Posisi subjek dalam pandangan Mark hanya sebagai pekerja yang begitu selesai menciptakan karya, lepas pula hubungan antara sang pencipta dengan karya ciptaannya. Pemisahan inilah yang kemudian menciptakan keterasingan manusia modern.

Hal yang lain terjadi dalam masyarakat postindustri. Objektifikasi merupakan internalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam objek. Objektifikasi ini dalam prakteknya berupa konsumsi, yaitu proses menghabiskan nilai guna suatu objek sekaligus menyerap makna obejek tersebut sebagai bentuk identifikasi jati diri. Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah objek yang ditawarkan semakin mengalami peningkatan kwantitas dengan life cycle yang semakin pendek. Akibat dari pendeknya lifecycle ini, internalisasi makna semakin terganggu. Orang tidak lagi sempat untuk melakukan internalisasi suatu objek, sebab telah muncul objek baru yang lebih menarik, demikian seterusnya. Hilangnya kesempatan untuk internalisasi nilai ini membuat berubahnya pola konsumsi. Alih-alih untuk menghabiskan nilai guna dan internalisasi nilai, konsumsi kini hanya sebagai sebuah permainan pemuas hasrat. Hingga pada tataran ini, landasan objektifkasi adalah hasrat, dan karena hasrat telah kehilangan alat pemenuhannya (demikian freud mengatakan), maka ia tidak akan pernah terpuaskan untuk selamanya....    

 

27 Agustus 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surti, Tedjo dan Pemerintah

Menyoal Bahasa