Kebetulankah hidup itu?


Jacob Oetama pernah ngomong bahwa hidup penuh dengan kebetulan- kebetulan. Dan beitulah tuhan mengatur dunia. Ya dengan kebetulan-kebetulan tersebut. Konsep ini Nampak sederhana namun dalam makna. Ini mengingatkan kepada kita, bahwa seringkali apa yang kita usahakan tidak selaras dengan garis hidup yang telah ditentukan olehNya. Memang agak mirip dengan para fatalis (jabariyah). Kebetulan-kebetulan itu terjadi tentu saja diluar apa yang kita rencanakan. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita menyikapi kebtulan-kebetulan tersebut. Terkadang yang sering muncul adalah kebahagiaan atau kekecewaan. Dari mana munculnya kebahagiaan dan kekecewaan tersebut? Bisakah kita keluar dari oposisi biner tersebut dan masuk kedalam penghambaan yang murni tanpa ada kebahagiaan dan kekecewaan, meski tetap harus ada syukur disana? Bukankah hidup mung sak dermo ngelakoni?

Kebahagiaan muncul tatkala apa yang kita rencananakan, harapkan dan usahakan ternyata sesuai dengan garis takdir yang telah ditentukan untuk kita. Lantas muncullah kebahagiaan, sebab yang kita usahakan ternyata berhasil. Tujuan-tujuan hidup kita menjadi kenyatan.

Sebaliknya, kekecewaan muncul ketika apa yang kita usahakan tidak menjadi realitas hidup. Kita merasa telah berusaha sepenuh jiwa, mengorbankan waktu dan hal-hal berharga milik kita. Namun tujuan yang kita usahakan ternyata tidak menjadi kenyataan. Kecewalah yang akan kita rasakan.

Kebahagiaan dan kekecewaaan hanyalah  sebuah respon yang kita lakukan atas kenyataan. Suatu respon yang muncul akibat kita merasa ikut menentukan jalan hidup kita. Ya... sekali lagi, ini mirip para fatalis. Namun kiranya baik untuk menjadi renungan. Pada dasarnya, kebahagiaan hanyalah suatu kebetulan bahwa apa yang kita usahakan ternyata sesuai dengan rencana tuhan. Dan kekecewaan adalah suatu kebetulan bahwa apa yang kita usahakan ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada dibenak tuhan. Jadi, permasalahannya hanyalah sebatas sesuai atau tidak sesuaikah apa yang kita usahakan dengan kehendak tuhan.

Artinya, kebahagiaan dan kekecewaan tidak harus menjadi dewa dalam hidup kita. Yang terpenting adalah membaca kemana kehendak tuhan akan mengarah. Atau minimal kita menyadari  sesadar-sadarnya bahwa kita hanyalah wayang yang dijalankan oleh sang dalang. Sang dalang tanpa diminta pun akan merawat wayangnya. Dan wayang tak perlu merengek-rengek minta untuk ditampilkan sebagai pemenang dalam lakon yang dimainkan. Sebaliknya, wayang tidak bisa menolak peran yang akan ia bawakan. Tak perlu minta untuk dibersihkan. Karena dalang akan malu dengan sendirinya bila wayangnya kurang menarik dipandang.

Dus, dengan kembali menyadari akan hidup yang sak dermo nglakoni, kita akan terbebas dari belenggu kebahagiaan dan kekecewaan. Hidup bukanlah untuk keduanya, tetapi untuk sang pencipta. Termasuk kerelaan kita bila harus menjalani lakon sebagai penghuni neraka. Bukankah itu hanya lakon saja. Sang dalang telah menentukan jalan lakon kita semenjak sang wayang  dibentuk dan digambar.

Fataliskah? Jabariyah kah? Emang gue pikirin, tetapi jujur, kedamaian hidup disisi sang pencipta rasanya bukan hal yang mustahil berangkat dari keadaran ini.

28 Oktober 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surti, Tedjo dan Pemerintah

Menyoal Bahasa